Oleh: Sugiyarto.S.E.,M.M, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang
Menjelang bulan puasa sebagian besar masyarakat jawa khususnya biasa melakukan kegiatan ritual yang yang menjadi tradisi yang di jalankan oleh leluhur mereka secara turun menurun. Menurut kalender hijriyah nyadran biasa dilaksanakna pada bulan sya’ban, Tradisi nyadran adalah metode yang di gunakan oleh walisongo dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah jawa dengan melakukan kombinasi strategi ilmu langit dan budaya lokal.
Sebagian daerah jawa seperti Jawa Tengah dan Jogjakarta serta wilayah sekitar biasanya nyadran di mulai lima belas hari menjelang puasa atau pada tanggal ganjil yang di pilih oleh setiap desa dalam melakukan tradisi nyadran.
Nyadran adalah kegiatan untuk membersihkan makam leluhur , nyekar atau tabur bunga, serta mendoakan leluhur mereka yang sudah wafat yang di akhiri dengan doa bersama di masjid atau mushola kampung serta di tutup dengan kenduri /makan bersama.
Kegiatan nyadran ini semakin ramai pada tiga hari atau satu minggu menjelang puasa. Maka jangan heran kalau omzet penjualan bunga di sekitar pemakaman khususnya di wilayah Jabodetabek meningkat dratis.
Bahkan masyarakat jawa yang tinggal di Jabodetabek rela untuk pulang kampung hanya untuk melakukan rutinitas nyadran bersama keluarga mereka di kampung yang masih memegang teguh tardisi nyadran
Dalam prosesi nyadran ada yang di laksanakan secara berkelompok di koordinir oleh tokoh masyarakat setempat ada juga yang di jalankan secara mandiri oleh keluarga.
Nyadran secara kelompok ini sebenarnya bisa dijadikan sebagai momen interaksi sosial antar warga dalam membangun kerbersamaan untuk menjalin silaturahmi yang di kemas dengan cara membersihkan pemakaman, mushola, masjid secara bergotong royong serta di tutup dengan makan bersama.
Semantara silaturahmi dalam dalam ajaran agama Islam adalah bagaimana kita bisa menjaga hubungan antar manusia ini sebagai wujud implementasi dari taqwa kepada Tuhan yang maha Esa. dalam kehidupan sehari – hari.
Bagi generasi milineal sebagian besar tidak mengenal tradisi nyadran secara mendalam. Kemajuan teknologi dan serbuan budaya K-Pop telah mendominasi pemahaman mereka terhadap budaya modern yang menginspirasi masyarakat sampai ke pelosok desa menjadi salah penyebab nyadran mulai di tinggal oleh generasi milenial.
Tidak setiap orang tua ingin memperkenalkan tradisi nyadran kepada generasi mereka dengan berbagai alasan, dampaknya banyak budaya dan tradisi yang punah karena kurangnya minat anak muda untuk sekedar ingin tahu.
Maka jangan heran jika banyak tradisi serta budaya di negara kita ini malah di minati oleh warga negara asing karena keunikannya. Ketika negara lain mulai peduli, justru kita yang memiliki budaya tersebut lebih cenderung tidak peduli.
Bagi generasi yang lahir pada tahun 70 an tentu akan memiliki banyak kenangan dengan nyadran. Bahkan mereka merasakan bagaimana melakukan ritual mandi keramas untuk mensucikan diri sebelum menjalankan puasa selama bulan Ramadhan.
Biasanya daerah tujuan wisata yang memiliki sumber mata air akan menjadi destinasi wisata masyarakat untuk melaksanakan mandi kramas sambil bermain air dari sumber mata air alam.
Tradisi kenduri yang merupakan makan bersama dengan tetangga satu kampung akan menjadi kenangan terindah dalam perjalanan hidup mereka.
Sementara dalam di era modern seperti saat ini, ritual yang sering kita lihat melalui media sosial adalah saling berkirim ucapan permohonan maaf menjelang bulan puasa. Maka jangan heran media sosial kita penuh dengan ucapan permohonan maaf dari anggota yang ada di dalam group, ada yang sekedar mengirimkan copy paste dari group sebelah sampai ada yang membuat flyer lengkap dengan foto terbaik.
(***)
Sumber: bantennews.co.id