Simpang siur informasi dan berbagai berita bohong (hoaks) meningkat tajam di tengah pandemi. Di tengah keterpurukan bangsa saat ini, masih ada saja netizen yang memproduksi dan meneruskan hoax ke berbagai jagat media sosial.

Jumlah hoaks yang semakin melonjak, menandakan bahwa sebagian netizen belum bijak menggunakan gawai dan rendahnya literasi digital. Netizen hanya pandai dan cepat membaca, tapi belum mempunyai kemampuan memahami dan menganalisa dengan baik.

Di tengah keprihatinan pandemi Covid-19, harusnya muncul rasa empati, kepedulian dan gotong royong agar berbagai masalah bisa selesai. Bukannya memperkeruh masalah hingga menimbulkan keresahaan di masyarakat.

Berbagai sektoral kita sudah babak belur, ditambah jumlah hoaks yang menambah beban psikologis masyarakat. Akan muncul ketakutan, kecemasan bahkan depresi yang bisa menurunkan imunitas dan  berujung pada kematian.

Revolusi Industri 4.0 yang ditandai jaringan internet, tidak dibarengi dengan kecerdasan dalam menggunakan gawai dan meningkatkan literasi digital. Teknologi harusnya memudahkan kita dalam beraktivitas, bukan untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks.

Penyebaran hoaks saat ini, bukan saja untuk kepentingan dalam menjatuhkan lawan, kini sudah menjelma menjadi industri. Hoaks tumbuh subur seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Hingga profesi Buzzer dan Influencer pun bermunculan di jagat media sosial untuk memproganda dan menggiring opini untuk sebuah kepentingan dalam mengumpulkan pundi-pundi uang.

Mudahnya penyebaran hoaks di jagat media sosial dibuktikan oleh penelitian Dewan Pers pada November 2019. Penelitian ini menunjukkan bahwa 70 persen mengandalkan informasi dari media sosial. Sebanyak 81,7 persen hoaks tersebar di Facebook, 57 persen tersebar melalui Whatsapp dan juga tersebar melalui instagram, Line dan Twitter.

Bahkan di Amerika Serikat, menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2018, bahwa hoaks di Twitter menyebar enam kali lebih cepat daripada berita aslinya.

Begitu juga ketika ingin disahkannya RUU Cipta Kerja di tengah pandemi, menurut Menteri Kominfo Johnny G Plate yang dilansir koran kompas menyebutkan, ada 574 sebaran hoaks terkait RUU Cipta Kerja yang ditemukan di berbagai jagat media sosial. Di Instagram ada 241 temuan, di Twitter ada 232 temuan, di Facebook ada 61 temuan, di Youtube 11 temuan dan di Tiktok ada 2 temuan. Bahkan 89 orang tersangka dan 14 sudah ditahan.

Literasi dan Hoax

Sampaikan kapanpun, hoaks tidak akan lenyap dari muka bumi. Sebab, dalam setiap jamannya akan ada manusia yang dibisikkan Iblis untuk berbuat jahat untuk menggapai kepentingannya dengan melakukan berbagai cara. Salah satunya yaitu menyebarkan hoaks.

Hoaks sendiri sudah ada sejak Nabi Adam As diciptakan. Iblis berusaha merayu, menggoda Adam dengan segala muslihat dan tipu daya. Iblis membisikkan agar Adam memakan buah Khuldi, sebab dengan memakan buah tersebut akan menyebabkan kekal hidup abadi di surga. Kisah ini terekam dalam Surat Taha ayat 120 dan surat Al’Araf ayat 20.

Dalam setiap sejarah dan jaman, akan selalu ada hoaks. Bagi umat Islam, Al-Quran sudah memberikan bimbingan dalam penguatan literasi dan menangkal hoaks. Dalam surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, perintah tidak hanya sebatas membaca (iqro), tapi juga memahami, menganalisa dan meneliti baik secara tekstual tapi konstektual.

Selain iqro, di dalam surat Al-Hujurat ayat 6 juga diajarkan untuk tabayyun yaitu mencari, meneliti, memeriksan kembali kebenaran informasi tersebut. Dalam menerima berita hendaklah hati-hati dan jangan menerima begitu saja, yang mengakibatkan kerugian dan penyesalan.

Kemudian ada tawaqquf yaitu sebuah sikap menahan diri untuk tidak langsung mempercayai atau menolak berita (Qs. Al-Isra :36). Ada juga Tajannub Al-Zhann yaitu sikap menjauhi asumi atau prasangka (Qs. Al-Hujurat: 12).     

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar besar dan mayoritas muslim terbesar di dunia. Jika mau memahami ajaran Islam dengan baik, maka akan tumbuh literasi dan mampu menangkal hoaks. Sehingga hoaks tidak akan tumbuh subur di negeri yang kita cintai ini.

Tingkatkan Kompetensi Literasi

Hoaks di tengah pandemi bak jamur di musim hujan. Membanjiri di jagat media sosial tanpa henti. Jika anda berkunjung ke website kominfo.go.id informasi/berita sudah dilabeli sebagai hoaks.

Melihat fenomena ini, menjadi sebuah refleksi agar kita semakin bijak dan cerdas dalam menggunakan gawai. Ini juga menandakan bahwa masyarakat Indonesia perlu meningkatkan kemampuan literasi khususnya generasi milenial dan kids jaman now.

Literasi kini semakin berkembang dari berbagai aspek, mulai dari literasi baca tulis, literasi digital, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial dan sebagainya. Kemampuan  literasi tidak hanya seberapa banyak buku yang anda baca. Seberapa cepat buku yang anda baca atau seberapa sering anda membaca berita di gawai. 

Tetapi, kemampuan membaca yang disertai dengan kemampuan menganalisa, meneliti, berfikir ilmiah dan sistematis (high order thingking) sebuah teks dari berbagai konteks dan sumber kebenarannya.

Kemendikbud juga menyederhanakan pencapaian materi, menjadi 3 assesmen kompetensi, salah satunya Asesmen Kompetesi Minimum (AKM) yaitu literasi dan numerasi. Bahkan Mas Manteri Nadiem Anwar Makarim sudah mengkonsepkan kompetensi literasi dasar yang digembor-gemborkan di jagat sosial media. Kata Mas Menteri, kemampuan literasi tidak hanya cukup membaca, tapi juga memahami dan menganalisa.

Jika hanya netizen hanya pandai dan cepat membaca, tanpa diiringi kemampuan memahami dan menganalisa, Penulis khawatir kemampuan literasi jomplang. Literasi yang tidak seimbang dan berat sebelah, karena hanya pandai dan cepat membaca, tanpa diiringi kemampuan memahami menganalisa isi informasi/berita sehingga bisa saja memproduksi dan meneruskan hoaks ke berbagai jagat media sosial.

Sumber: qureta.com
Penulis: Deni Darmawan (Pengajar di Unpam dan Penulis Online)