“Jimpitan” Kearifan Masyarakat Desa Menghadapi Pandemi Covid-19

Oleh: Saiful Anwar, S.Pd., S.E., M.Pd.
Dosen Pendidikan Ekonomi Universitas Pamulang

Media Kontroversi – Setiap wilayah pasti memiliki tradisinya masing-masing, terkadang tradisi tersebut hilang hanya tinggal cerita legenda tetapi ada juga yang tetap lestari, tradisi “jimpitan” salah satunya, di sebuah desa kecil dibawah lereng gunung kelud terletak di wilayah kabupaten Blitar yang tenang tradisi ini tetap lestari karena tetap dijaga dan di uri-uri, diturunkan lintas generasi dengan menyesuaikan perkembangan generasi tanpa meninggalkan pakem-pakem yang telah ditetapkan.

Jimpitan menurut ahmad cholis diartikan sebagai “wilo nganing barang lembut nganggo pucukdriji” atau dalam terjemahan bebasnya berarti mengambil barang kecil dengan menggunakan ujung jari. Tradisi ini sudah berlangsung lama sekali, tidak diketahui siapa yang memulai, tetapi yang pasti kaum perempuan lah yang memulai, pada mulanya tradesi ini dilakukan secara mandiri oleh ibu-ibu rumah tangga ketika memiliki beras berlebih, setiap akan menanak nasi mereka menyisihkan sejumput beras untuk disimpan disebuah wadah yang disebut “daringan”. Sebuah konsep tabungan sederhana ala ibu rumah tangga. Beras ini akan dikeluarkan dari tempatnya hanya bila terjadi 2 hal yaitu ketika ada tetangga yang mengalami kemalangan (peristiwa kematian, kecelakaan ataupun hal lainnya) atau ketika masa pageblug tiba.

Seiring dengan perkembangan generasi konsep jimpitan sudah beralih cara tetapi tanpa mengubah fungsi yang sebenarnya, tradisi jimpitan sudah lebih praktis dipraktikkan dan lebih social penggunaannya. Jimpitan tidak lagi dikelola oleh para orang tua, tetapi dipindah gilirkan kepada pemuda pemudi untuk mengelola dan melestarikannya. Melalui wadah karang taruna desa, jimpitan dikelola oleh pemuda pemudi desa, setiap rumah menggantungkan gelas plastik di dekat pintu yang terlihat dari halaman untuk menaruh jimpitan yang telah disepakati bersama secara sukarela, jimpitan tersebut diambil secara rutin setiap hari senin seminggu sekali, tidak berupa beras tetapi berganti menjadi uang yang nominalnya tak lebih dari harga secangkir kopi yaitu sebesarRp. 1.500/minggu.

Uang yang terkumpul dari hasil jimpitan dikelola karang taruna untuk kegiatan social dan kegiatan produktif yang ujung akhirnyapun digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial desa. Lalu mengapa jimpitan tetap lestari ditengah pandemi? Bukankah kitah arus menerapkan social distancing/ psysical distancing? Kalau bertemu bukankah itu sama juga memperparah pandemi? Jimpitan dilakukan tetap dengan mematuhi tata peraturan social distancing, para pemuda pemudi selalu menggunakan masker dan menjagajarak ketika bertugas, tetapi seperti masyarakat desa pada umumnya dalam bertugas mereka bukan seperti bayangan yang mengambil iuran secara diam-diam tetapi tetap menyapa dari jauh dan selalu menanyakan kabar sipemilik rumah sehingga bias diketahui kondisi setiap rumah.

Dari observasi dan wawancara saya menyimpulkan bahwa jimpitan merupakan ekspresi dari kesederhanaan dan gotong royong. Seperti kata nara sumber bahwa “jimpitan itu digunakan terutama ketika terjadi kesusahan, kesusahan itu bias dirasakan dan dibagi secara bersama-sama, tidak ada jarak dan selisih paham antara generasi tua dan muda, saling menghormati dan menghargai sehingga kerukunan warga tercipta, seperti masa-masa seperti ini jimpitan sangat begitu berarti bagi semua” ucap mega.

Seperti yang kita pahami bersama Gotong royong dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan lagi menjadi sebuah kebiasaan tetapi sudah menjadi karakter bangsa yang sebenarnya masih terpatri di dalam jiwa masayarakat Indonesia dimanapun mereka berada sekarang. Sehingga saya berfikir bila kita mau belajar dari kearifan sebuah tradisi dan menurunkan ego masing-masing akan sangat mungkin jimpitanini bias diterapkan dengan penyesuaian dan penyelarasan dengan budaya masing-masing daerahter utama ketika menghadapi pandemi covid-19.

Menurut saya tradisij impitan bias menjadi salah satu solusi jika salah satu masayarakatnya membutuhkan misalkan karena terpapar covid-19, untuk kebutuhan sehari-hari bias dijamin oleh desa/lingkungannya masing-masing sesuai dengan kesepakatan bersama. Karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat kumunal yang cerdas dan mau berbagi bukan masyarakat individualistis (rad).

Sumber : mediakontroversi.co.id

Share your love