lppm@unpam.ac.id
(+62) 857-1903-5676
Jl. Witana Harja No. 18b, Pamulang
Oleh: Abdul Hadi (Dosen Ilmu Hukum Universitas Pamulang)
Perdebatan soal perbedaan “mudik” dan “pulang kampung” akhir-akhir ini menjadi perhatian bagi masyarakat. Pasalnya tahun 2020 ini menjadi tahun dimana tidak adanya kepadatan arus mudik di daerah. Hal ini disebabkan karena adanya larangan mudik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Permenhub yang ditetapkan pada tanggal 23 April 2020 itu tentu banyak mengalami pertentangan bagi mereka yang sudah menjadikan mudik sebagai tradisi setiap perayaan Idul Fitri. Karena di momen itulah mereka dapat melepas rindu dengan sanak keluarga di kampung.
Kalau kita lihat dari perspektif hukum, Permenhub tersebut sangatlah jelas telah melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 27 (2) UU HAM berbunyi “Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari dalil tersebutlah kita dapat tarik kesimpulan bahwa pergerakan (manusia) di dalam wilayah RI ialah hak asasi manusia dan dijamin dalam Undang-undang.
Selain itu Pasal 28J (2) UUD 1945 menyebutkan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Oleh karena itu hak asasi manusia, baik yang tercantum dalam UUD 1945 maupun yang diatur di dalam UU HAM dapat dibatasi asalkan pembatasannya diatur di dalam UU.Tapi dalam kenyataannya Permenhub lah yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam melakukan larangan mudik, sehingga inilah yang menjadi persoalannya.
Dasar terbitnya Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dari sinilah Pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan untuk melarang mudik, akan tetapi di sisi lain pemerintah tidak mau memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok masyarakat. Memang benar, framing yang dipakai bahwa pemerintah menerapkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) atau sosial distancing, tapi substansinya adalah karantina wilayah.
Kalau saja Pemerintah menggunakan dan menerapkan karantina wilayah, maka hal itu mewajibkan Pemerintah untuk menyediakan kebutuhan dasar penduduk yang dikarantina, termasuk juga hewan ternaknya, dan hal ini tentu sangat memberatkan Pemerintah, melihat kondisi keuangan negara sekarang ini sedang dalam keadaan tidak sehat.
Padahal UU Kekarantinaan Kesehatan disetujui dan disahkan serta diundangkan pada tahun 2018 yang artinya masih rezim ini yang berkuasa, sehingga jangan sampai terbesit dibenak bangsa ini bahwa pemerintah sengaja melakukan “penyelundupan aturan”, dan terkesan pemerintah hanya ingin menggunakan haknya tanpa mau menunaikan kewajibannya.
Oleh karena itu melihat penjelasan diatas, maka aturan larangan mudik ini perlu dikaji kembali mulai dari payung hukum hingga sampai kepada pelaksanaannya, sehingga dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan aturan dan pelaksanaan yang benar.
Jauh dari itu semua kita berharap penyebaran Covid-19 segera berakhir dengan sebuah regulasi yang tepat dan terukur sehingga jangan sampai ada nyawa yang hilang bukan hanya karena Covid-19 melainkan karena kebijakan politik yang buruk.
Karena lebaran tanpa mudik ibarat “ketupat sayur tanpa rendang”. (*)
Sumber: satubanten.com