Darurat bencana akibat pandemi Covid-19 merupakan ujian besar bagi bangsa dalam membangun kehidupan demokrasi di Indonesia. Penyelenggaraan tahapan Pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, 37 kota) berpotensi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang ditentukan dalam undang-undang.

Situasi ini pada akhirnya mendorong KPU untuk melakukan penundaan terhadap tahapan yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan, yang dituangkan Keputusan KPU Nomor 179/PL.2-Kpt/01/KPU/III/2020, dimana ada 4 (empat) tahapan yang ditunda, yaitu tahapan pelantikan PPS, verifikasi syarat dukungan bakal calon kepala daerah perseorangan, pembentukan PPDP, dan pemutakhiran dan penyusunan DPT.

Pilihan penundaan ini merupakan pilihan yang rasional karena didasarkan pada pertimbangan objektif kondisi penyebaran Covid-19. Banyak tahapan dalam pilkada yang mengharuskan tatap muka dan pengumpulan massa dalam jumlah besar dan hal tersebut berpotensi memperluas penyebaran covid-19.

Penundaan Pilkada
UU Pilkada pada dasarnya mengatur tentang penundaan pelaksanaan Pemilihan dan memberi wewenang kepada KPU atau Menteri/Gubernur atas usul KPU untuk menetapkan penundaan tersebut. UU Pilkada menentukan bahwa penundaan pelaksanaan Pilkada dapat dilakukan apabila terdapat 2 (dua) keadaan. Pertama, terdapat sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan. Kedua, di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan. Manakala terdapat 2 (dua) keadaan sebagaimana disebutkan di atas, maka KPU/Pejabat atas usul KPU berwenang untuk menerbitkan penetapan penundaan pelaksanaan Pemilihan.

Dengan demikian, penundaan pelaksanaan Pemilihan dapat dilakukan manakala terdapat sebagian tahapan penyelengaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan terganggu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 ayat (1) UU Pilkada. Apabila sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan, maka pasca penundaan pelaksanaan Pemilihan tersebut akan dilakukan Pemilihan Lanjutan. Sedangkan apabila seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan terganggu, maka pasca penundaan pelaksanaan Pemilihan tersebut akan dilakukan Pemilihan Susulan.

Mengingat tahapan Pemilihan Tahun 2020 telah berjalan, maka penundaan pelaksanaan Pemilihan hanya dapat dilakukan karena adanya keadaan “terdapat sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan”, sehingga sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan, maka pasca penundaan pelaksanaan Pemilihan tersebut akan dilakukan Pemilihan Lanjutan.

Dikaitkan dengan adanya keadaan berupa ancaman “penyebaran Virus Corona atau Covid-19”, yang tampaknya berpotensi mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan sehingga tidak dapat dilaksanakan, maka KPU atau pejabat yang berwenang atas usul KPU dapat menerbitkan penetapan penundaan pelaksanaan atas sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan yang tidak dapat dilaksanakan, untuk selanjutnya dilakukan Pemilihan Lanjutan.

Urgensi Perppu
Lantas pertanyaan mengapa harus dengan Perppu penundaan tersebut. Bukankah menurut UU Pilkada KPU memiliki kewenangan untuk melakukan atau mengusulkan penundaan pelaksanaan tahapan Pilkada. Mengingat penundaan tahapan pilkada serentak 2020 berimplikasi pada pelaksanaan waktu pemungutan suara yang telah ditentukan dalam UU Pilkada yakni pada bulan September 2020 (Pasal 201 ayat 6), maka penundaan tersebut haruslah dilakukan dengan merubah UU Pilkada. Namun perubahan melalui prosedur biasa tersebut tidak dapat dilakukan mengingat negara kita dalam status darurat bencana akibat pandemi Covid-19, sehingga perubahan tersebut haruslah melalui Perppu yang diterbitkan oleh Presiden.

Keadaan darurat di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden, di satu pihak karena (i) pemerintah sangat membutuhkan suatu undangundang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara; tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan DPR tidak mencukupi sebagaimana mestinya.

Dalam doktrin ajaran hukum tata negara, keadaan darurat yang menjadi dasar terbitnya Perppu harus diartikan sebagai kepentingan internal pemerintahan yang memaksa (innere notstand) dan kepentingan mengatasi ketegangan (state of tension)”. Dalam pengertian pertama, keadaan darurat sesungguhnya tidak ada, namun karena ada kepentingan internal pemerintahan yang mesti dilakukan tetapi instrumen undang-undang yang ada tidak memungkinkan untuk itu, maka dapat ditempuh dengan penerbitan suatu Perppu sebagai landasan yuridis bagi Presiden selaku kepala pemerintahan untuk melakukan tindakan sekalipun menyimpang dari ketentuan undang-undang yang ada.

Sedangkan dalam pengertian yang kedua, keadaan darurat memang ada dan negara dalam ketegangan akibat adanya keadaan bencana alam ataupun ketegangan sosial karena adanya peristiwa-peristiwa politik, sementara untuk mengatasi ketegangangan itu undangundang yang ada tidak mampu menyelesaikannya sehingga Presiden dalam hal ini berhak untuk menerbitkan Perppu dalam rangka mengatasi berbagai ketegangan itu.

Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020, hadirnya Perppu ini telah memenuhi parameter keadaan darurat atau hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Negara dalam ketegangan akibat adanya bencana pandemi Covid-19, sehingga Pilkada Serentak 2020 berpotensi tidak dapat dilaksanakan. UU Pilkada yang ada saat ini tidak mampu mengatasi ketegangan tersebut, sehingga diperlukan Perppu untuk mengatasinya.

Perppu Penundaan Pilkada Serentak 2020 merupakan pilihan yang rasional dan dihadirkan karena adanya alasan kedaruratan atau adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa berupa darurat bencana Covid-19, yang menyebabkan terjadinya stagnasi pemerintahan, terutama dalam konteks Penyelenggara pemilihan dalam menjalankan perintah undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di tahun 2020.

Hanya saja Perppu Penundaan Pilkada Serentak 2020 yang hendak diterbitkan Pemerintah harus dimaknai dalam konteks kedaruratannya, yaitu hanya sebatas hal yang berkenaan dengan pengaturan waktu pemungutan suara yang telah ditentukan dalam UU 10/2016 dan hal-hal yang berkenaan dengan implikasi atau akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya penundaan Pilkada Serentak 2020 tersebut.

Oleh karena itu, materi muatan Perppu yang hendak diterbitkan pemerintah tidak hanya sekedar mengatur terkait penundaan pemilihan di luar waktu yang diatur dalam UU Pilkada sehingga melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (6), tetapi lebih dari materi muatannya juga menjawab berbagai implikasi yang muncul dari penundaan tersebut.

Dalam situasi darurat bencana kesehatan ini, kedewasaan demokrasi tampaknya merupakan keniscayaan. Bagaimana pun konsolidasi demokrasi melalui penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 harus tetap berjalan sekalipun ditengah pandemi Covid-19. Untuk itu dibutuhkan komitmen dari kita semua untuk Indonesia yang lebih baik.

Sumber:  Koran Banten Pos, 27 April 2020
Oleh: Bachtiar Baetal (Kaprodi MIH PPS Universitas Pamulang Jakarta)