Prolog
Darurat bencana kesehatan akibat pandemi Covid-19 merupakan ujian besar bagi bangsa dalam membangun pranata demokrasi di Indonesia. Penyelenggaraan tahapan Pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, 37 kota) berpotensi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang ditentukan dalam undang-undang.

Situasi ini pada akhirnya mendorong KPU untuk melakukan penundaan terhadap tahapan yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan, yang dituangkan Keputusan KPU Nomor 179/PL.2-Kpt/01/KPU/III/2020, dimana ada 4 (empat) tahapan yang ditunda, yaitu tahapan pelantikan PPS, verifikasi syarat dukungan bakal calon kepala daerah perseorangan, pembentukan PPDP, dan pemutakhiran dan penyusunan DPT.

Pilihan penundaan ini merupakan pilihan yang rasional karena didasarkan pada pertimbangan objektif kondisi penyebaran Covid-19. Banyak tahapan dalam pilkada yang mengharuskan tatap muka dan pengumpulan massa dalam jumlah besar dan hal tersebut berpotensi memperluas penyebaran covid-19.

Dalam perkembangannya, pada forum RDP antara DPR, Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP tanggal 30 Maret 2020, disepakti untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. KPU mengusulkan tiga opsi waktu pemungutan suara, yaitu: tanggal 9 Desember 2020 dengan masa penundaan 3 bulan, tanggal 17 Maret 2021 dengan masa penundaan 6 bulan, dan 29 September 2021 dengan masa penundaan satu tahun. Untuk memberikan alas hukum terhadap perubahan waktu pemungutan suara itu, maka Presiden perlu segera menerbitkan Perppu. Hanya saja hingga saat ini belum ada kata sepakat antara penyelenggara dengan DPR dan pemerintah terkait waktu penundaan tersebut. Informasi terakhir yang beredar di media, pemerintah, DPR, dan KPU telah menyepakati Pilkada Serentak 2020 tetap diselenggarakan dengan waktu pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020.

Pilkada yang Disederhanakan
Opsi penundaan Pilkada Serentak 2020 hingga September 2021 seperti yang diusulkan KPU tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagi penyelenggara, penundaan tersebut akan memberikan ruang waktu yang lebih longgar untuk mempersiapkan pelaksanaan tahapan pilkada pasca pandemi Covid-19. Namun bagi pemerintah, tidak sesederhana itu, sebab pemerintah perlu mengantisipasi adanya kekosongan jabatan kepala daerah di 270 daerah yang akan berakhir di Februari dan Juni 2021. Pilihannya bisa menunjuk penjabat sementara atau justru memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Pada sisi lain pemerintah harus memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19 yang saat ini terus menunjukkan peningkatan angka pasien positif Covid-19.

Dalam pandangan penulis, Pilkada Serentak 2020 dengan waktu pemungutan suara paling lama 9 Desember 2020 masih dapat dilakukan sekalipun masih dalam masa pandemi Covid-19. Hanya saja pelaksanaan tahapannya harus disederhanakan, dengan ketentuan tetap memperhatikan kebijakan pembatasan sosial dan sesuai dengan protokol penanggulangan penyebaran Covid-19. Konsekuensi dari opsi penyederhanaan pilkada ini, dibutuhkan adanya perubahan metode pelaksanaan tahapan yang ditunda. Pilihannya, dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik, atau pertemuan terbatas sesuai protokol penanganan Covid-19, atau tetap dilakukan sesuai tahapan namun disesuaikan dengan protokol penanganan Covid-19.

Secara teknis, penyederhanaan Pilkada Serentak 2020 dapat saja dilakukan terutama untuk tahapan-tahapan yang dapat digantikan prosesnya secara elektronik seperti tahapan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan, Pendaftaran Pelaksana Survei atau Jajak Pendapat dan perhitungan cepat, Rekapitulasi DPS, Penyampaian DPS oleh KPU Kab/Kota kepada PPS melalui PPK, Pengumuman dan tanggapan masyarakat terhadap DPS, Perbaikan DPS oleh PPS, pengumuman DPT oleh PPS, pembentukan PPDP, pendaftaran pasangan calon, penyerahan kelengkapan syarat dokumen, dan penelitian syarat administrasi calon pada masa pendaftaran pasangan calon, penetapan pasangan calon, dan Pelaporan sumbangan dana kampanye dan pengeluarannya.

UU Pilkada juga telah memberikan alternatif metode kampanye tidak hanya berupa pertemuan/tatap muka, tetapi juga dalam bentuk penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan menggunakan media massa/elektronik. Selama masa pandemi, kampanye dalam bentuk pertemuan/tatap muka dapat ditiadakan atau dengan pertemuan terbatas, sementara untuk debat publik dapat dilakukan secara terbatas tanpa menghadirkan pendukung dan disiarkan melalui media televisi dan radio.

Demikian pula untuk tahapan pemungutan suara, bisa juga dilakukan secara elektronik. Jikalaupun harus secara langsung datang ke TPS, hendaknya dilakukan sesuai protokol penanggulangan Covid-19. Otoritas kesehatan dan penyelenggara Pilkada harus memberlakukan kebijakan ketat bagi pemilih yang akan datang memberikan suaranya di TPS. Pemilih wajib menggunakan masker dan sarung tangan, menjalani pemeriksaan suhu tubuh dan memberlakukan jarak aman antarpemilih. Selain itu, waktu pemungutan suara diperpanjang hingga pukul 18.00. Demikian pula untuk tahapan-tahapan lain tetap dapat dilaksanakan sepanjang disesuaikan dengan resiko penularan dan dilakukan sesuai dengan protokol penanggulangan Covid-19.

Pelaksanaan Pilkada yang disederhanakan ini hanya akan berjalan dengan baik manakala prasyarat lain telah dilakukan. Pertama, pemerintah bersama dengan penyelenggara Pilkada harus mampu memberikan jaminan rasa aman dan trust bagi pemilih ketika hendak memberikan suara di TPS. Sosialisasi yang massif tentang urgensi Pilkada dan tata cara pemungutan suara dalam kondisi pandemi Covid-19 menjadi penting dilakukan. Hanya dengan cara itu trust publik kepada penyelenggara tetap ada dan tingkat partisipasi pemilih yang memberikan suaranya dapat terjaga, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada legitimasi keterpilihan calon kepala daerah.

Kedua, tersedianya instrumen hukum yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada yang adaptif dan sejalan dengan semangat penanggulangan penyebaran Covid-19. Pemerintah dan penyelenggaraan Pilkada perlu merumuskan dengan cermat tahapan, program dan jadwal pilkada 2020. Pelaksanaan tahapan Pilkada dan pengawasannya didesain sedemikian rupa sesuai dengan konteks kedaruratanya dan tanpa menanggalkan esensi makna daulat rakyat yang menjadi inti dari demokrasi.

Ketiga, terhadap beberapa tahapan yang pelaksanaannya berbasis elektronik, harus didukung oleh ketersediaan sarana dan sistem teknologi beserta kemampuan koneksi jaringannya. Untuk kepentingan itu, penyelenggara pemilihan hendaknya memetakan daerah-daerah yang potensial tidak dapat melaksanakan tahapan berbasis elektronik. Pemetaan ini penting dilakukan agar dapat diantisipasi sedini mungkin tanpa mengganggu jalannya tahapan Pilkada.

Epilog
Dalam situasi darurat bencana kesehatan ini, kedewasaan demokrasi tampaknya merupakan keniscayaan. Bagaimana pun konsolidasi demokrasi melalui penyelenggaraan pilkada serentak 2020 harus tetap berjalan ditengah pandemi Covid-19. Untuk memberikan payung hukum bagi pilkada serentak 2020 yang disederhanakan itu, pemerintah harus segara menerbitkan Perppu. Perppu merupakan pilihan yang rasional dan dihadirkan karena adanya alasan kedaruratan akibat pendemi Covid-19. Hanya saja Perppu Penyederhanaan Pilkada Serentak 2020 yang hendak diterbitkan Pemerintah harus dimaknai dalam konteks kedaruratannya, yaitu hanya sebatas hal yang berkenaan dengan pengaturan waktu pemungutan suara dan hal-hal yang berkenaan dengan implikasi atau akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya Penyederhanaan Pilkada Serentak 2020 tersebut. 

Sumber:  Koran Sendari Pos, 27 April 2020
Oleh: Bachtiar Baetal (Kaprodi MIH PPS Universitas Pamulang Jakarta – Tenaga Ahli Hukum Bawaslu RI)