Indonesia adalah negara yang paling lengkap kekayaan alamnya dan sumber daya manusianya yang melimpah sehingga bisa menjadi jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup bangsa dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya. Namun dibalik keindahan dan kelengkapan kekayaannya berbagai sektor pengelolaannya masih diwarnai tindak pidana korupsi. Berbicara mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia menurut Transparency International Indonesia (TII) merilis data indeks persepsi korupsi atau corruption perception index (CPI) Indonesia pada 2019 berada di angka 40 dengan nilai tertinggi 100. Indeks persepsi korupsi mengacu pada 13 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Pernilaian CPI didasarkan pada skor 0 untuk sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Jika dilihat berdasarkan peringkat, Indonesia berada di posisi 85 dari 180 negara.

Perkara korupsi dalam penanganannya membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Dalam menghitung biaya penanganan korupsi dikenal dengan biaya sosial. Misalanya saja dalam kasus korupsi di sektor kehutanan yang ditangani oleh KPK. Biaya Sosial Korupsi menghitung biaya eksplisit yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi yang terjadi dan biaya implisit (opportunity cost) yang merupakan biaya dampak yang timbul karena korupsi yang dilakukan. Ruang lingkup biaya eksplisit meliputi biaya pencegahan korupsi, penanganan perkara korupsi, pengadilan, perampasan aset, pemasyarakatan hingga nilai uang yang dikorupsi. Sedangkan biaya implisit yang dihitung pada kasus kehutanan ini adalah biaya implisit minimal yaitu biaya kerusakan yang ditimbulkan akibat beralihnya fungsi hutan.

Penghitungan dilakukan terhadap kasus penyuapan kepada angggota DPR dalam pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang dan hutan lindung Pulau Bintan pada Tahun 2006 – 2008. Hasil penghitungan biaya sosial korupsi menunjukkan nilai kerugian negara mencapai 543 kali lipat dibanding kerugian negara hasil perhitungan konvensional yang telah diputuskan oleh hakim. Jika hukuman finansial inkracht untuk 9 terpidana tercatat Rp. 1,7 miliar, maka mekanisme penghitungan biaya sosial korupsi menghasilkan kerugian sebesar Rp.923,2 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh para koruptor kehutanan tersebut kepada negara. Model/formula ini akan diusulkan untuk dapat digunakan oleh auditor dalam menghitung kerugian keuangan negara yang akan dimasukkan dalam berkas dakwaan jaksa di persidangan. Di masa datang, implementasi untuk pembebanan Biaya Sosial Korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan ganti kerugian sebagaimana yang diisyaratkan pada pasal 98 KUHAP.

Korupsi yang menimbulkan dampak pengeluaran biaya penanganan yang sangat besar ini jelas-jelas merugikan negara. Faktor penyebab korupsi itu ada dua yaitu melalui faktor internal dan eksternal. Yang melalui faktor internal adalah dari perilaku diri kita sendiri, lingkungan, dan keluarga. Yang melalui faktor eksternal adalah kesenjangan sosial, politik, budaya dan organisasi organisasi yang sistemnya kurang akurat.

Dalam teori yang dikemukakan oleh jack bologne atau sering disebut GONE theory, bahwa faktor faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi:

  1. Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri setiap orang. 
  2. Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa,sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. 
  3. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
  4. Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Faktor faktor greeds dan needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor faktor opportunities dan exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan. Teori lain misalnya Teori Triangle Fraud (Donald R. Cressey) Ada tiga penyebab mengapa orang korupsi yaitu adanya tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi (rationalization).

Teori CDMA (Robert Klitgaard) Korupsi (corruption) terjadi karena faktor kekuasaan (directionary) dan monopoli (monopoly) yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (accountability). Kekuasaan dan monopoli yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas akan memunculkan sikap serakah. Dengan kekuasaan dia bisa memonopoli apapun dan tidak mempedulikan perihal kualitas kerja. Baginya apa saja yang dilakukannya didasarkan kekuasaan. Anak buah yang membantunya biasanya menjuluki dengan pemimpin tangan besi yang rakus. Namun bagi anak buah yang dekat justru membuat meraka bisa menekan kesegala sector untuk memuaskan nafsu pemimpinannya sekaligus memuaskan nafsunya dan memanfaatkan “aji mumpung. Teori ini mendalami pemimpin atau penguasa yang memiliki karakter dictator dan haus akan harta dan kekuasaan.

Teori Willingness and Opportunity Menurut teori ini korupsi bisa terjadi bila ada kesempatan akibat kelemahan sistem atau kurangnya pengawasan dan keinginan yang didorong karena kebutuhan atau keserakahan. Dalam teori ini belum tentu orang memiliki sikap untuk korupsi atau berbuat curang namun lebih disebabkan karena adanya peluang atau kesempatan yang disebabkan sistem organisasi yang keropos dengan mengabaikan sistem pengawasan. Misalnya saja pada jaman sebelum adanya kepemimpinan Ignatius Jonan seorang kondektur kereta api bisa mengambil keuntungan dengan menaikkan penumpang illegal tanpa tiket. Hal ini dilakukan karena sistem pengawasan yang lemah. Namun sekarang hal itu tidak bisa dilakukan karena perombakan sistem yang luar biasa.

Selanjutnya adalah Teori Triangle. Konsep dasarnya sederhana Teori fraud menyatakan bahwa kecurangan yang terjadi didukung oleh tiga unsur yaitu adanya tekanan, kesempatan, dan pembenaran.  Teori fraud triangle merupakan teori yang harus dimasukkan ke dalam rencana audit kecurangan. Teori ini menyatakan bahwa kecurangan terjadi karena adanya tiga elemen seperti tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Tiga elemen kecurangan hidup bersama pada tingkat yang berbeda di dalam organisasi dan mempengaruhi setiap individu secara berbeda. Teori ini kemudian dikembangkan secara skematis oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). ACFE menggambarkan fraud dalam bentuk fraud tree. Fraud tree ini biasanya disajikan dalam bentuk bagan. Fraud tree mempunyai tiga cabang utama, yaitu corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements

Salah satu penjelasan teoritis mengenai tindakan kecurangan disampaikan oleh Cressey (1953). Menurutnya, seseorang bisa melakukan tindakan kecurangan apabila dilandasi oleh tiga hal yaitu kesempatan (opportunity), tekanan atau insentif (pressure or incentive) dan rasionalisasi (rationalization). Ketiganya saling mendukung sama lain dan membentuk pilar kecurangan yang disebut sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle).

Elemen pertama dari segitiga kecurangan adalah tekanan. Tekanan dapat diakibatkan oleh berbagai hal termasuk tekanan yang bersifat finansial dan non finansial. Faktor finansial mumcul karena keinginan untuk memiliki gaya hidup yang berkecukupan secara materi. Sedangkan faktor non finansial bisa mendorong seseorang melakukan fraud, yaitu tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk. Selain itu sifat dasar manusia yang serakah bisa jadi memberikan tekanan secara internal sehingga mendorong seseorang melakukan tindakan kecurangan.

Faktor kecurangan yang kedua adalah kesempatan. Terbukanya kesempatan ini dikarenakan si pelaku percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan andaikan aksi seseorang itu diketahui, maka tidak ada tindakan yang serius yang akan diambil. Peluang ini terjadi biasanya terkait dengan lingkungan dimana kecurangan memungkinkan untuk dilakukan. Sistem pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang memadai serta prosedur yang tidak jelas ikut andil dalam membuka peluang terjadinya kecurangan.

Elemen ketiga dalam tindakan kecurangan adalah rasionalisasi. Hal ini merupakan pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan. Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Vona, Leonard W menyatakan bahwa dalam Pengukuran tiga elemen fraud triangle tidak sesederhana mengukur temperatur seseorang. Proses audit harus mengidentifikasi dan memahami bagaimana kondisi kecurangan tersebut menyebabkan kemungkinan terjadinya kecurangan yang sebenarnya.

Besar harapan kita negara ini akan diurus oleh aparat-aparat yang anti korupsi sehingga menutup peluang untuk melakukan korupsi, agar negeri ini dikelola tanpa korupsi. Amiin.

Sumber: visione.co.id
Oleh: Dr. Susanto, S.H., M.M., M.H., (Dosen Ilmu Hukum Universitas Pamulang)