Bagi negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, ketahanan pangan merupakan syarat mutlak. Selain karena pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia, juga karena kondisi objektif Indonesia maupun dunia yang mengalami perubahan pola konsumsi dan produksi pangan.

Perubahan pola konsumsi dan produksi pangan global yang dimaksud dapat dilihat dari; harga pangan dunia yang melonjak drastis, alih fungsi lahan pangan untuk kepentingan lain, penggunaan komoditas pangan untuk kepentingan energi, ditambah serbuan komoditas pangan impor.

Dalam lingkup yang lebih kecil, perubahan konsumsi dan komoditi ini berpengaruh banyak pada ketahanan pangan institusi keluarga. Bila dahulu hampir semua kebutuhan pokok keluarga dapat dipasok dari lahan pertanian sendiri, kini semua itu didapat dari pasar-pasar tradisional maupun modern. Disamping tak lagi berdaya untuk memasok kebutuhan pangannya, keluarga juga tak berdaya atas kualitas dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya.

Antisipasi Krisis Pangan

Puncak dari perubahan global yang kian mengkhawatirkan tersebut adalah munculnya ketidakseimbangan antara produksi pangan dan permintaan atau konsumsi pangan atau antara supply & demand. Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia, tahun 2025 merupakan saat dimana ketidakseimbangan pangan atau krisis pangan melanda dunia.

Benarlah kiranya apa yang pernah diungkapkan Bung Karno, bahwa ‘pangan adalah urusan hidup matinya suatu bangsa.’ Nyatanya, seiring jumlah populasi dan permintaan konsumsi pangan yang kian bertambah, sementara ketersediaan atau produksi pangan terbatas, saat ini sejumlah negara dengan jumlah populasi yang tinggi tengah menjadikan pangan sebagai isu strategis dalam pembangunan di negaranya.

Supaya produksi pertanian bisa memenuhi kebutuhan secara berkelanjutan, banyak negara maju yang kini memberikan subsidi bagi sektor pertanian. Pada tahun 2011 misalnya, tercatat tak kurang dari 252 miliar USD digelontorkan untuk negara-negara anggota OECD bagi sektor pertanian (The Economist, 2012).

Sebetulnya, ada begitu banyak resep, atau pun konsep yang ditawarkan negara-negara di dunia untuk lepas dari ancaman krisis pangan dan meningkatkan ketahanan pangan. Salah satunya, dan yang seringkali dihembuskan oleh negara maju ke negara-negara berkembang adalah resep liberalisasi ala WTO. Mulai dari tema perluasan pasar (market acces), pengurangan dukungan domestik (domestic support), hingga pengurangan subsidi ekspor (export subsidies).

Untuk beberapa waktu, seperti dialami Indonesia pada zaman Orde Baru, negara yang menerapkan resep WTO ini dapat menuai hasil dan dapat menyebut dirinya sukses melakukan swasembada pangan. Namun tak lama kemudian, bangunan ketahanan pangannya rontok, lantaran tidak adanya proteksi dan derasnya laju impor pangan.

Bagi yang sadar akan fatamorgana di balik resep yang ditawarkan WTO tersebut, mereka mulai memutar haluan dan meruntuhkan mitos dan resep tersebut. Brasil misalnya, yang pada tahun 2002 silam 50 juta warganya pernah menderita kelaparan kronis, akhirnya mengeluarkan program zero hunger (nol kelaparan) yang berfokus pada peningkatan akses pangan dan gizi.

Sepuluh tahun kemudian, program zero hunger ternyata berhasil mengatasi persoalan pangan dalam negaranya sekaligus tampil menjadi negara pengekspor pangan dunia. Beberapa komoditas pangan unggulan Brazil yang dapat kita temui di pasar internasional misalnya adalah; pisang, coklat, singkong, ayam, kopi, jeruk, kedelai, tebu, tembakau, latex, dan kayu.

Jalan lain, yang lebih sederhana

Selain resep-resep dengan biaya miliaran dollar di atas, ada juga jalan lain yang ditawarkan untuk meningkatkan ketahanan pangan namun dengan biaya yang murah dan lahan yang terbatas. Konsep tersebut biasa disebut FOD atau Food Oriented Development. FOD merupakan konsep pembangunan pertanian yang menjadikan kota sebagai penyedia pangan bagi warganya. Titik berangkat dari konsep FOD ini adalah lahan pertanian yang terbatas, sementara populasi penduduk kian bertambah.

Perwujudan dari FOD di era mutakhir bisa berupa kegiatan bertani di perkotaan atau biasa disebut urban farming dan pertanian keluarga atau family farming. Konsep urban farming adalah memanfaatkan lahan tidur di perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian produktif hijau yang dilakukan masyarakat dan komunitas sehingga dapat memberikan manfaat bagi mereka.

Urban farming terbukti berhasil di negara-negara maju yang bahkan lahan pertaniannya lebih sedikit dari Indonesia. Contohnya adalah Kanada dan Inggris yang telah menyisipkan konsep urban farming dalam peraturan dan perencanaan ruang kotanya. Keberhasilan tersebut bermula dari krisis ekonomi yang menyebabkan kesulitan pangan. Sehingga pada masa itu timbul inovasi untuk mengembangkan pertanian di kawasan perkotaan.

Indonesia sebetulnya memiliki cara unik untuk mengadopsi konsep FOD, yakni seperti pernah diperkenalkan Menteri Pertanian RI era Pak SBY dengan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), yang oleh organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agricultural Organization/FAO) diadopsi menjadi Family Farming. Alasannya, konsep sederhana ini dipercaya menjadi salah satu resep atau trik jitu untuk mengurangi ancaman krisis pangan.

Bagi FAO, pertanian berbasis keluarga demikian eratnya dengan ketahanan pangan global. Karena itu peranan pertanian berbasis keluarga harus diperhatikan dunia, diantaranya untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Tak heranlah bila kemudian, FAO menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Internasional Pertanian Keluarga.

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia pernah mencatat, bahwa keragaman pangan lokal telah menjadi pilar penting penyangga pangan nasional sejak ribuan tahun silam. Di era mutakhir, sistem pangan model ini lalu dikenal sebagai sistem pangan lokal.

Sistem pangan lokal merupakan sistem pangan yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya dan pemenuhan kebutuhan lokal mulai dari level keluarga hingga komunitas, dimana pekarangan merupakan salah satu bagian penting dalam sistem ini. Adalah Otto Soemarwoto dan GR Conway dalam journal for farming system research 1992 yang menyebutkan bahwa pekarangan sudah ada sejak 860 Masehi di Jawa Tengah.

Family farming, KRPL, Pekarangan atau bagi kami ibu-ibu PKK biasa disebut dengan program ‘halaman asri teratur indah dan nyaman (HATINYA)’ dengan demikian merupakan model pengembangan ketahanan pangan berbasis keluarga khas Indonesia.

Konsep yang mempengaruhi inflasi sangat sederhana, bagaimana lepas dari krisis cabe, bawang, tomat dan kebutuhan pokok keluarga lainnya. Tapi di kemudian hari, program ini pun didorong agar dapat membantu menambah sumber pangan dengan gizi seimbang dan sumber ekonomi keluarga. Selain itu, konsep ini juga didorong agar dapat mengurangi pengeluaran belanja harian rumah tangga. Last but not least, konsep ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan harmonisasi masyarakat melalui kerjasama antar keluarga dalam memanfaatkan lahan pekarangan rumah.

Meskipun sederhana, tapi hemat penulis konsep ketahanan pangan berbasis kearifan lokal ini dapat dijadikan alternatif solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia dimulai dari ketahanan pangan keluarga. Karena walau bagaimana pun tercukupinya kebutuhan pangan suatu negara akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang tinggi, semoga. Ini artinya, masa depan Indonesia juga ditentukan oleh kemampuan meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan.*

Sumber: visione.co.id
Penulis: Ahmad Munawaruzaman, Dosen Universitas Pamulang