Dalam beberapa kali perjalanan di kota-kota Indonesia. Saya merasakan nuansa kebatinan yang luar biasa. Nuansa eksotik tergambar pada kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia. Saat ini secara tidak sadar budaya nasional mulai meredup dengan datangnya budaya luar. Tidak hanya itu, hadirnya kekuatan ideologi luar mengakumulasi logika keindonesiaan. Akhirnya meluluhkan sosial-budaya nusantara menjadi tak nampakApalagi dewasa ini pengaruh ideologi atau ekonomi sedang gencar menyerang kita dengan intoleransi akan eksistensi budaya nasional.

Kita saat ini melihat dinamika globalisasi telah membawa suatu bentuk budaya baru yang tak jarang menyebabkan kaburnya nilai-nilai moral yang ada. Dan dalam kacamata saya, sejauh ini pendidikan kita terutama pendidikan tinggi cenderung mengesampingkan aspek pendidikan moral.  Padahal di tingkat pendidikan tinggilah yang sebenarnya paling rentan oleh kepincangan moral. Sehingga bukan hal yang aneh jika output nya hanya cakap dalam ilmu pengetahuan tapi lemah dalam hal etika dan moral keagamaan.

Padahal Ki Hajar Dewantara dengan tegas pernah menyatakan bahwa “pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak”. Jadi jelaslah, pendidikan merupakan wahana utama untuk menumbuh kembangkan karakter dan moral yang baik, dalam lingkup sosial kemasyarakatan. Merujuk pada pendapat Djohar (1999: 110) bahwa sebagai ukuran normatif untuk menunjukkan manusia Indonesia yang berbudaya, di satu sisi dapat diperhatikan dari tujuan pendidikan nasional kita, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Wawasan strategi budaya bangsa mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa.

Ukuran-ukuran positif untuk menunjukkan derajat ketercapaian tujuan lebih sulit dirumuskan dari pada ukuran-ukuran negatif. Secara negatif ukuran manusia Indonesia berbudaya yang mencerminkan kecerdasan bangsa, mencerminkan manusia Indonesia yang utuh, dan yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi, apabila setiap warga bangsa tidak lagi menampilkan cermin kemiskinan dan kebodohan dalam kehidupan pribadi dan lebih luasnya lagi berbangsa dan bernegara.

Dipandang dari budaya akademik maupun budaya bangsa, ada persamaan yang menggambarkan budaya untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa. Saya melihat perkembangan kurikulum, minat belajar dan proses yang dilakukan siswa, mahasiswa dan stakeholder tidak mampu menjawab tantangan moral yang semakin menurun.

Kita bisa melihat moral hajat masyarakat bukan menjadi bagian fondasi dari kehidupan bermasyarakat. Moral bukan dijadikan indikator bagi eksistensi keadaan masyarakat. Akan tetapi kebudayaan yang tidak pernah diajarkan para agamawan menjadi satu-satunya bahan suci bagi hidup bermasyarakat. Ironi bukan, letak kesalahan ini menjadi kebisingan kalangan akademisi untuk selalu berpijak pada hakikat hidup.

Kepribadian suatu bangsa sebagaimana juga kepribadian seseorang, tidak mungkin terus saja sama dengan yang semula tanpa ada perkembangan. Memang dalam perkembangan itu ada yang bersifat asli atau permanen, unsur yang membuatnya berbeda dari yang lain. Namun disamping yang permanen, berkembang sifat-sifat hasil adaptasi atau pertumbuhan baru dalam diri sendiri. Kalau suatu bangsa tidak sanggup untuk memperkuat diri dengan menumbuhkan satu perkembangan dalam kepribadiannya, maka sangat disangsikan masa depannya dalam kehidupan umat manusia yang penuh perubahan.

Memang merupakan tantangan bagi setiap bangsa untuk dapat menempuh jalan yang mulus dalam proses perkembangannya. Untuk menghadapi era globalisasi dan demokratisasi serta segala bentuk tantangan di masa mendatang, maka Pancasila perlu adanya rejuvenasi dan rehabilitasi dalam hal pemaknaan dan pelaksanaan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber: visione.co.id
Oleh: Ahmad Munawaruzaman, Dosen Universitas Pamulang