Kritis Tak Asal Kritik

Mahasiswa berasal dari dua kata; maha dan siswa. Sebutan mahasiswa hanya untuk pelajar yang sedang menempuh studi di perguruan tinggi. Dan itu hanya ada dalam bahasa Indonesia. 

Di Malaysia, mahasiswa disebut pelajar. Di Eropa mahasiswa disebut student. Tidak ada keistimewaan untuk menyebut pelajar di perguruan tinggi.

Indonesia memiliki harapan kepada kaum intelektual muda. Itu sebabnya pelajar di perguruan tinggi dipanggilnya mahasiswa. Hal itu agar tidak seperti siswa pada umumnya. 

Mahasiswa diharapkan memiliki peran penting dalam pembangunan. Melalui ide-ide kritisnya, mahasiswa diharapkan mampu menyumbangkan pemikiran dan tenaga.

Dalam dunia pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk melakukan tridarma. Tridarma yaitu tiga kewajiban yang harus dijalani, berupa pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Ketiganya harus dijalankan secara konsisten. 

Mahasiswa tidak hanya belajar di kelas saja, melainkan juga dituntut untuk meneliti. Penelitian yang dilakukannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Itu sebabnya penelitian yang baik adalah penelitian yang dapat menyelesaikan permasalahan orang banyak. 

Penelitian bukan sebagai ajang lucu-lucuan dan viral. Itu sebabnya kematangan keilmuan mahasiswa diuji di lapangan. Teori yang didapat di kelas dan buku teori harus bisa diterapkan dalam penelitian.

Hasil dari peneiltian harus dipublikasikan dan diterapkan di masyarakat. Itu yang namanya pengabdian. Itu sebabnya tridarma menjadi kewajiban mahasiswa agar berbeda dengan siswa biasa.

Dalam hal pendidikan, mahasiswa berhak mendapatkan pengajaran dari dosen. Dosen hanya menyampaikan materi 20%. Sisanya, mahasiswa mencari sendiri dalam buku-buku dan sumber referensi lain. 

Hal itu dilakukan agar mahasiswa juga turut aktif membaca. Makin banyak membac, maka daya kritisnya makin tajam. Tanpa bahan bacaan, mahasiswa tidak bisa kritis.

Fakta yang terjadi beberapa tahun ini, mahasiswa jarang membaca. Dalam sidang tugas akhir misalnya, mahasiswa belum menyelesaikan membaca 15 buku. 

Bagaimana mungkin seorang sarjana belum menamatkan 15 buku? Seharusnya itu sudah khatam di semester 3. Anggap saja 5 buku per semester. Bagaimana mahasiswa bisa kritis dan berperan memberikan solusi bagi masyarakat?

Membaca buku tidak harus membelinya. Mahasiswa bisa menginstall aplikasi perpustakaan nasional. Mahasiswa bisa membaca banyak buku di sana. Tentu buku yang dibaca memiliki batasan waktu.

Selain itu, membaca bisa juga dilakukan secara gotong royong. Dalam satu kelas misalnya, setiap individu membeli 1 buku yang berbeda dengan yang lainnya. Dalam sebulan, harus menamatkan 1 buku. Setelah itu ditukar secara bergilir dengan temannya. 

Jika 1 kelas terdapat 25 mahasiswa, tentu dalam 25 bulan sudah menamatkan 25 buku. Itu tidak susah dan lebih murah daripada membeli 25 buku sekaligus.

Dengan banyak membaca, mahasiswa akan makin paham persoalan. Ia bisa menuangkan ide dan gagasannya melalui media. Ia bisa menulis sehingga gagasannya bisa dibaca oleh pemangku kepentingan.

Menulis di media massa tidak seperti menulis di media sosial. Menulis di media massa harus dilandasi penuh tanggung jawab. Tulisan harus disertai data yang valid sehingga tidak menimbulkan hoaks. Penulis harus menggunakan diksi yang mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Dan yang paling penting tidak menyinggung SARA dan provokasi. 

Berbeda dengan menulis di media sosial sehingga banyak hoaks di dalamnya. Sudah berapa banyak orang yang ditangkap karena tulisannya di media sosial karena mengandung provokasi dan ujaran kebencian?

Mahasiswa pun perlu belajar organisasi sebagai papaning mudi nata jagad; belajar hidup. Dalam organisasi, mahasiswa bisa belajar menghargai pendapat, menyampaikan pendapat, bekerja sama dalam tim, musyawarah, dan mengontrol emosi. Itu sebagai bekal nanti ketika menyatu di masyarakat.

Mahasiswa perlu memilih organisasi yang baik. Organisasi kemahasiswaan seharusnya menjadi papaning mudi nata jagad, bukan malah menjerumuskan kepada hal yang negatif. 

Tujuan organisasi adalah mengajak kebaikan. Jika organisasi yang diikuti memiliki tujuan untuk membuat onar dan resah masyarakat, maka segera tinggalkan. Itu bukan organisasi yang baik.

Salah memilih organisasi akan berakibat fatal. Bisa berujung pidana karena terlibat kerusuhan. 

Organisasi kemahasiswaan seyogianya tidak melibatkan tokoh dari luar kampus. Kebanyakan, orang luar memiliki kepentingan sendiri; tidak peduli dengan nasib anggota yang dalam hal ini mahasiswa. Itu yang sering disebut ditunggangi oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Memanfaatkan sikap kritis mahasiswa untuk kepentingan tertentu. Ia akan lepas tanggung jawab ketika mahasiswa sudah berurusan dengan pihak yang berwajib. 

Dari dulu selalu seperti itu. Yang dirugikan tentu Anda dan keluarga.

Mahasiswa yang di kampus sebagai kaum intelek, di rumah adalah seorang anak dari ibu yang baik. Seorang anak yang dibanggakan bapaknya. Senakal-nakalnya dia, akan tetap lucu dan imut di mata ibunya. Akan tetap diselipkan dalam doa bapaknya.

Menjadi mahasiswa bukan berarti menjadi pribadi yang angkuh dan merasa hebat. Ada orang tua yang selalu mengharapkan kepulangannya dan juga berharap mampu membawa nama baik keluarga. Ketika mahasiswa terlibat rusuh di luar sana, orang tua adalah yang pertama menangis mendengar anaknya di gelandang ke kantor polisi. Bukan mereka yang yang melakukan provokasi.

Orang tua selalu berdoa agar anaknya berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Orang tua akan bangga ketika anaknya sukses sesuai bidangnya. Orang tua akan bangga melihat perjuangan anaknya yang dulu imut, lucu, kini akan menjadi sarjana.

Setiap wisuda, saya selalu melihat pancaran wajah bahagia dari para orang tua. Ada asa dalam linang air matanya ketika anaknya naik ke atas panggung untuk dilantik menjadi sarjana. Ada doa dalam getar bibirnya agar ia tidak menjadi sarjana kosong. 

Tentu ia berharap bisa melihat anaknya hidup bahagia bersama keluarganya kelak. Orang tua ingin sekali suatu saat, menengok anaknya yang hidup bahagia bersama keluarganya sambil membawa oleh-oleh dari kampung halaman.

Jadilah mahasiswa yang juga seorang anak dari orang tua yang bangga terhadap anaknya. Wujudkan doa orang tua Anda dengan memberikan kebahagiaan di masa depan. Bukan menjadi anak yang membawa malu keluarganya.

Untuk itu, belajarlah dengan giat. Fokus pada cita-cita Anda untuk mewujudkan mimpi orang tua. Jangan pedulikan ajakan orang lain untuk membuat huru-hara melalui organisasi yang tidak jelas. Jangan mau berbuat rasis. Masyarakat ingin bahagia dengan hidupnya; sama seperti Anda.

Hidup ini hanya sekali. Jadilah pemeran utama dalam kehidupan yang hanya sekali ini. Semoga Anda semua bisa mewujudkan harapan orang tua.

Sumber: qureta.com
Oleh: Misbah Priagung Nursalim (Dosen linguistik di Universitas Pamulang)

Share your love