Hingga detik ini wabah virus corona (Covid-19) terus melanda dan menyerang negeri ini. Bagaimana tidak, penyebarannya cukup cepat dan sangat berbahaya apalagi virus ini merupakan jenis virus baru sehingga belum adat obatnya walaupun belakangan beberapa negara telah mengklaim dapat menyembuhkan. WHO juga telah mengumumkan bahwa virus ini sudah menjadi pandemi yang artinya dampak terhadap penyebaran virus ini telah menjadi masalah besar bagi ratusan negara di dunia dan menjadi sebuah bencana yang mungkin terbilang sangat besar abad ini.

Sejak awal Maret saat virus ini merebak ke dalam negeri ini, Indonesia kenyataannya masih terlihat santai walaupun sebagian masyarakat sudah mulai serius bahkan beberapa diantaranya terlihat panik. Tak disangka ternyata virus ini justru merajalela dan memakan banyak korban. Pemerintah Indonesia mencoba menerapkan berbagai macam kebijakan dan membuat berbagai pengaturan baru guna dalam menghadapi wabah virus ini. Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia dalam upaya menekan angka penyebaran virus ini adalah dengan menghimbau kepada masyarakat untuk menerapkan perilaku social distancing atau physical distancing yaitu menjaga jarak dan sebisa mungkin menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitar.

Jika flashback ke belakang, sebenarnya Indonesia sudah cukup telat untuk memitigasi ini semua. Saat negara-negara lain mulai menerapkan berbagai kebijakan tegas dalam memerangi virus berbahaya ini, Indonesia masih terlihat “santai” menyikapinya. Hingga akhirnya setelah lonjakan korban yang drastis, Indonesia baru mulai menyadari bahwa virus ini sudah jelas hadir di depan mata. Kampanye untuk tetap di rumah (stay at home) pun mulai gencar disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari pejabat elit negara,para tokoh dan ahli, artis, youtuber, selebgram serta influencer lainnya hingga seluruh lapisan masyarakat lainnya juga mulai aktif menyuarakan ini.

Dampak penyebaran virus ini akhirnya berujung pada penundaan aktivitas-aktivitas penting di berbagai belahan dunia termasuk di tanah air. Mulai dari pertemuan-pertemuan kenegaraan, perhelatan pertandingan olahraga baik dalam skala nasional maupun internasional, resepsi pernikahan dan hajatan lain, hingga arisan tingkat RT/RW pun harus ditunda bahkan dibatalkan. Seharusnya Indonesia dapat berkaca dari negara-negara lain yang lebih dahulu secara masif mengkampanyekan dan melakukan berbagai tindakan mitigasi total terhadap terhadap virus ini walaupun tidak semua negara juga terbilang berhasil dalam menyikapinya.

Muncul desakan publik, apakah Indonesia harus lockdown ? Jika bercermin pada upaya berbagai belahan negara di dunia misalnya Malaysia, yang telah mengambil langkah konkrit untuk mencegah virus , salah satunya melakukan Lockdown. Adapun Korea Selatan meski tidak melakukan lockdown tapi melakukan rapid test (tes cepat) secara massal. Lalu Indonesia berada di posisi mana dalam kondisi mendesak seperti ini?

Indonesia sebetulnya bisa dikatakan berada pada posisi diantara keduanya yaitu mengambil sebagian spirit lockdown dan meninggalkan sebagian dengan tetap mengimbau masyarakat untuk melakukan pembatasan secara sosial. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai langkah yang diambil pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yaitu dengan menganjurkan atau menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan pembatasan-pembatasan kegiatan pada sektor-sektor tertentu termasuk juga menekankan kepada masyarakat untuk menunda terlebih dahulu kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengumpulkan banyak orang hingga dalam aksi nyata berbagai sektor mulai memberlakukannya sehingga himbauan Presiden untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah telah mulai gencar dilakukan.

Jalan Keluar

Jika Indonesia sebenarnya bisa memilih untuk melakukan lockdown secara total, apalagi dalam kondisi dan keadaan yang sudah semakin mendesak seperti saat ini. Terlebih lagi pelaksanaan lockdown ini sudah tercermin dan diatur dalam Undang-Undang dalam bentuk dan konsep “Kekarantinaan Kesehatan”.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebenarnya sudah cukup memenuhi syarat apabila Indonesia memilih jalan ini. Pada ayat 4 misalnya dijelaskan bahwa:

“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan”

Dalam Pasal 53, 54 dan 55 dalam UU tersebut juga jelas diatur tentang keharusan pelaksanaan karantina wilayah (istilah Undang-Undang untuk Lockdown) apabila dalam suatu wilayah telah tersebar suatu penyakit tertentu yang sangat berbahaya dimana kasus yang sama juga terjadi di wilayah atau negara lain. Jelas saja ini sudah memenuhi syarat untuk diberlakukannya lockdown tersebut. Hanya saja Pemerintah Indonesia memiliki banyak pertimbangan untuk mengambil kebijakan tersebut karena dampaknya mungkin terlihat cukup berat dan akan merugikan semua sektor termasuk sektor ekonomi.

Namun pada akhirnya Pemerintah Indonesia memilih jalan lain selain pelaksanaan lockdown yaitu dengan mengeluarkan 3 (tiga) peraturan secara bersamaan per tanggal 31 Maret 2020  yaitu Perppu RI No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, PP RI No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Keppres RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Dalam situasi yang mendesak dengan berbagai pertimbangan yang panjang, Pemerintah Indonesia memilih pelaksanaan PSBB sebagai solusi di tengah kedaruratan kesehatan nasional atas wabah virus corona ini daripada melakukan lockdown atau mengkarantina wilayah Indonesia. Melalui pelaksanaan PSBB tersebut, Pemerintah memastikan bahwa di tengah upaya yang diambil akan tetap mempertimbangkan dan memperhatikan stabilitas keuangan.

Pemerintah menarget 3 kebijakan dapat berjalan seiring dengan diterbitkannya 3 Perppu tersebut. Jika stabilitas keuangan negara terjaga maka upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terutama bagi masyarakat yang tidak mampu akan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

Sebelum keputusan pelaksanaan PSBB tersebut diputuskan, sebenarnya sempat muncul wacana untuk menetapkan keadaan “Darurat Sipil”. Pernyataan ini juga telah disampaikan langsung  oleh Presiden bahwa Indonesia hendak menerapkan keadaan darurat sipil sebagai langkah terakhir dalam mengatasi penyebaran virus ini. Dalam Perppu RI No. 23 banyak reaksi publik dan ahli hukum mengkritisi dampak terbesarnya adalah pemerintah tidak memiliki keharusan untuk menanggung kebutuhan dasar masyarakat.

Namun akan berbeda penerapan dan dampaknya jika dilakukan karantina wilayah dengan merujuk kepada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Salah satu dampak baiknya adalah pemerintah memiliki keharusan untuk menanggung kebutuhan dasar masyarakat.

Lalu apakah langkah PSBB ini sebagai yang terbaik ? Tentu semua pihak masih melihat terlebih dahulu dampak kedepan dan yang pasti potensi penyebaran penularan virus corona ini belum tentu seberhasil negara-negara lain. Kita berharap bahwa langkah yang diambil pemerintah dalam menerapkan PSBB ini adalah langkah yang terbaik dan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan melakukan pembatasan aktivitas sosial secara massif sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah terkait PSBB ini, diharapkan mampu memutus rantai penyebaran virus,. Selain itu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan dapat tetap terjaga sehingga beberapa aktivitas perekonomian di Indonesia masih dapat dijalankan walaupun dengan batasan-batasan sosial yang lebih ketat dan massif.

Semoga langkah tersebut merupakan solusi terbaik sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 menjelaskan bahwa ”.… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia .…” sebagai spirit dalam mencapai tujuan bernegara dan semoga kebijakan tersebut merupakan kebijakan terbaik dalam upaya menanggulangi penyebaran wabah virus berbahaya ini.

Salus populi suprema lex esto” (kesejahteraan rakyat harus menjadi hukum tertinggi).

Sumber: satubanten.com
Abdul Fatah, S.H. ,M.H. – 
Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Pamulang Tangerang Selatan