lppm@unpam.ac.id
(+62) 857-1903-5676
Jl. Witana Harja No. 18b, Pamulang
Beberapa waktu lalu, istri prajurit Tentara Nasional Indonesia yang menyebarkan konten di media sosial terkait penusukan Menko Polhukam dituding melanggar Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal penyebaran kebencian dan berita bohong. Masih terkait hal yang sama, Hanum Rais juga mengunggah sebuah cuitan di media sosialnya. Akibatnya, Hanum disangka melanggar Pasal dalam Undang-Undang Informasi Transaksi elektronik (UU ITE). Dari dua peristiwa diatas menunjukkan lagi-lagi tidak cermat menggunakan media sosial berujung pada persoalan hukum.
Jika kita lihat peran media sosial bagi kehidupan manusia di era perkembangan teknologi informasi saat ini memang tidak dapat dihindari. Media sosial dapat digunakan untuk hal-hal yang positif dalam menunjang aktifitas kehidupan manusia. Begitu banyak sebenarnya manfaat positif dari keberadaan media sosial. Namun justru dalam praktik media sosial sering juga digunakan untuk hal-hal yang tidak dibolehkan oleh ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi yang disebarkan melalui media sosial tersebut dapat berimbas kepada kehidupan masyarakat secara luas. Salah dalam menggunakan media sosial juga dapat berakibat munculnya pertengkaran dan perpecahan. Bahkan salah menggunakan media sosial dapat terjerat pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi Transaksi elektronik (UU ITE).
Beberapa pasal dalam UU ITE yang dapat menjerat seseorang apabila tidak bijak menggunakan media sosial adalah Pasal 27 ayat (1). Dalam pasal ini dijelaskan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, pelakunya dapat diancamkan dengan pidana penjara selama 6 tahun. Sementara Pasal 27 ayat (4) UU ITE berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman, juga dapat diancamkan dengan pidana penjara selama 6 tahun. Ancaman sanksi hukum bagi yang melanggar Pasal 27 ayat (1) dan ayat (4) diatas lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1) dan (4) UU ITE dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian ada lagi Pasal 28 ayat (2). Dalam pasal ini disebutkan; setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA. Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Pemberian ancaman hukuman sebagaimana dimaksud pasal-pasal diatas merupakan konsekwensi dari adanya perbuatan yaitu dengan sengaja dan tanpa hak yang dilakukan oleh seseorang secara melawan hukum. Tanpa hak disini dimaksudkan bahwa seseorang melakukan perbuatan secara melawan hukum yang bertentangan dengan hak yang dimiliki orang lain. Ketika perbuatan mendistribusikan dalam bentuk menyalurkan, membagikan, mengirimkan, memberikan, menyebarkan informasi kepada orang lain dengan menggunakan teknologi informasi seperti data elektronik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, atau video yang mengandung muatan penghinaan, pengancaman dan pencemaran nama baik atau konten-konten kesusilaan, maka dalam hal ini melekat sifat melawan hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE. Artinya, apabila seseorang mengirimkan data elektronik tetapi tidak mengandung muatan-muatan seperti penghinaan, pengancaman dan pencemaran, maka perbuatan orang itu tidak termasuk melawan hukum, dan tidak dapat dipidana. Akan tetapi apabila perbuatan yang mengandung muatan penghinaan, pengancaman dan pencemaran disebarkan, maka pelakunya dapat dipidana karena ia dianggap telah mengetahui atau menyadari bahwa ia tidak berhak melakukannya.
Tentu dulu kita masih ingat kasus Vanessa Angel (VA). Dalam kasus VA, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa VA sengaja menawarkan diri ke muncikari. Dalam dakwaannya jaksa menyebutkan VA dengan sengaja dan tanpa hak, mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Dalam kasus HS terduga pelaku yang merekam dan menyebarkan video dengan sengaja membuat video dan menyebarkan untuk diketahui umum yang berisi ancaman kepada kepala negara dan dinyatakan sebagai kejahatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE. Pasal ini masuk dalam delik formil. Dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, maka delik dianggap selesai. Sementara dalam delik materil, dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat karena tindakannya, baru kemudian dikatakan telah terjadi tindak pidana, misalnya Pasal 338 mengenai tindak pidana pembunuhan. Jika pembunuhan tidak selesai yaitu dengan matinya seseorang, maka hal ini masuk dalam bentuk percobaan. Dalam Pasal 53 KUHP dijelaskan mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Sejatinya, delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada perbuatannya, sementara delik materiil menitikberatkan pada akibat dari perbuatan tersebut.
Dalam konstitusi negara Indonesia dijamin adanya kebebasan berekspresi seperti menyampaikan pendapat, baik lisan atau tulisan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD tahun 1945. Kemudian juga dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Hal ini juga termaktub dalam Pasal 19 Konvenan Sipol yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on civil and political rights (kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik).
Meski konstitusi menjamin kebebasan berpendapat, tetap diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam menyampaikannya, termasuk mendistribusikan atau memposting data ataupun semua dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, muatan pencemaran nama baik, muatan pemerasan dan/atau pengancaman melalui media sosial. Sudah saatnya sekarang kita melakukan langkah-langkah yang cerdas dan arif dalam menanggulangi dampak negatif media sosial dengan selalu mengedepankan cek dan ricek dan tanggungjawab dalam memainkan fungsi media sosial tersebut sehingga terhindar dari jerat pidana UU ITE. Semoga.***
Sumber: Koran Tangsel Pos
Oleh: Oksidelfa Yanto (Dosen Ilmu Hukum Universitas Pamulang Tangerang Selatan)