Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa dana desa merupakan dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang di transfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dalam APBN 2020, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 72 triliun untuk 74.953 desa di seluruh Indonesia. Di triwulan pertama tahun ini Kementerian Keuangan telah mencairkan dana desa tahap 1 sekitar 40% dari total dana keseluruhan, kepada desa- desa yang dinilai layak salur di sejumlah kabupaten.
Namun sayangnya praktik korupsi seakan seperti penyakit turunan yang tak kunjung sembuh, pasalnya kini praktik korupsi pun sudah tertular ke tingkat yang paling bawah yakni desa. Seperti yang disampaikan oleh John Dalberg Acton “The power tends to corrupt, absolute power, corrupts absolutely” (Kekuasaan cenderung korupsi, kekuasaan absolut mengakibatkan korupsi yang absolut pula). Maka ketika ada kekuasaan dan kewenangan yang absolut di situlah cenderung terjadi penyelewengan seperti korupsi, dan ini terjadi pula di desa.
Dari hasil pemetaan korupsi berdasarkan sektor sepanjang tahun lalu yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), anggaran desa menduduki peringkat teratas dengan 96 kasus yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 37,2 miliar.Hal itu se- harusnya menjadi bahan evaluasi para pemerintah, legislator, dan tentunya aparat penegak hukum dalam mengawal dan mengawasi penggunaan anggaran desa tersebut agar harapan perubahan dan kesejahteraan masyarakat desa dapat terwujud.
Sehingga timbulah sebuah ungkapan yang menohok bangsa ini yaitu desentralisasi korupsi, yang sejatinya desentralisasi menjadi suatu pedoman dalam melaksanakan pemerintahan di Indonesia sesuai dengan semangat dan amanat Reformasi yang diharapkan oleh bangsa ini, namun ternyata harapan itu hanya sekedar angan belaka karena justru dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia hanya sebagai corong untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang. Kemunculan raja-raja kecil di daerah otonom membuat sebagian dari mereka memanfaatkan sebagai ladang pengeruk uang dengan memanfaatkan sumber daya dan konstelasi politik lokal. Sehingga ini menjadi preseden buruk bagi rakyat yang berakibat pasifnya masyarakat terhadap demokrasi karena selalu dijejali oleh pemberitaan tentang korupsi yang terjadi di daerah. Tentu hal ini tidak sejalan dan mencoreng semangat reformasi yang sarat akan perubahan khususnya dalam hal pelaksanaan desentralisasi.
Penyebab lahirnya desentralisasi korupsi dalam penerapan otonomi daerah, setidaknya ada 3 (tiga) faktor yaitu Pertama, pelimpahan kewenangan dalam penerapan otonomi daerah hanya bersifat administratif, tanpa adanya pembagian kewenangan kepada masyarakat dalam hal penentuan regulasi yang dibuat sesuai dengan amanat demokrasi yaitu adanya partisipasi masyarakat, padahal dalam Pasal 68 UU Desa telah mengatur mengenai hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa. Sehingga penerapan desentralisasi terkesan memberikan celah kepada elit lokal untuk mengelola kekayaan yang dimiliki daerah sehingga hal tersebut rawan terhadap korupsi.
Kedua, Tidak adanya alat atau institusi yang dimiliki negara untuk mengawasi secara pasti dan efektif terhadap penyimpangan yang terjadi di daerah karena hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah hanya bersifat fungsional atau sekedar kekuasaan memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.Ketiga, kompetitifnya kontestasi kepala desa menyebabkan cost politik menjadi tinggi. Hal itu disebabkan karena meningkatkatnya anggaran desa sehingga banyak pihak yang ingin menduduki posisi nomer satu di desa tanpa disertai dengan kompetensi dan komitmen untuk membangun desa serta gagalnya para wakil rakyat di daerah (legislatif) dalam mengemban tupoksinya sebagai lembaga kontrol, dan yang ada hanyalah sebuah kongkalikong pemerintah daerah dengan DPRD, maka pengawasan jalannya pemerintahan di daerah tidak berjalan sesuai mekanisme yang ada. Selain itu partisipasi masyarakat sebagai alat kontrol pun dari kalangan civil society jauh dari apa yang diharapkan. Selain itu politik transaksional masih terasa kental di daerah, tentu dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat desa dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu modus tindak pidana korupsi di daerah semakin menjalar dan beragam dan telah menjangkit seluruh lembaga negara baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Berdasarkan data pemetaan sektor dan lembaga yang dilakukan oleh ICW (Indonesia CorruptionWatch) tahun lalu ternyata tren korupsi di daerah menempati posisi teratas, sehingga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama seluruh stakeholder yang ada di bangsa ini untuk memberantas penyakit turunan yang tak kunjung sembuh.(*)
Sumber: Koran Tangsel Pos, Kamis 9 April 2020
Oleh: Bima Guntara (Dosen Universitas Pamulang Tangerang Selatan)