Menambah Korban Bencana Covid-19?

SERING terlintas dalam pikiran kita, mengapa donasi atau bantuan sering menjadi sesuatu yang mendapat perhatian lebih dari pembahasan sampai perdebatan banyak pihak di Indonesia? Faktanya, memang, Indonesia merupakan salah satu negeri yang rentan dilanda bencana. Banyak peristiwa bencana di Indonesia terekam ke dalam alam sadar dan bawah sadar masyarakat sejak zaman kaerajaan-kerajaan nusantara hingga berkembang menjadi Indonesia saat ini. Selain itu, pengaruh besar agama di Indonesia menumbuhkan kesadaran terhadap keikhlasan sangat tinggi.

Runtutan bencana besar saling berkelindan dan peran agama pun menumbuhkan jiwa sosial masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan hidup saling membantu atau gotong royong. Mereka terbiasa untuk bahu membahu dalam menangani setiap bencana kecil maupun besar yang sejak dahulu kala menerpa nusantara. Akibat keterbiasaan ini kemudian hingga masalah-masalah kecil pun yang privat, di mana dalam lingkungan hidup masyarakat Indonesia berkembang menjadi menjadi masalah bersama.

Kesadaran sosial yang tinggi dalam tubuh masyarakat Indonesia tampak tatkala mendengar adanya bencana, di mana mereka secara cepat bergerak menggalang berbagai bantuan untuk bencana tersebut. Banyak individu tergerak mengambil andil turut menopang atau setidaknya, berusaha meringankan beban yang dialami bukan hanya korban bahkan juga pemerintah.

Kini, dunia sedang dilanda wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) termasuk Indonesia. Kondisi ini menyebabkan rasa takut yang meneror jiwa serta tubuh mayoritas anggota masyarakat karena dikabarkan dapat menimbulkan kematian. Fakta tersebut sudah terjadi. Tetapi masyarakat Indonesia bukan kaum lemah.

Mereka mahluk yang sudah terbiasa dengan tekanan hidup termasuk situasi bencana, sehingga ketika pemerintah Indonesia menyatakan Covid-19 merupakan bencana nasional semua bergerak bersama menghadapi persoalan ini. Baik mereka yang berpandangan skeptis, Indonesia akan kolaps akibat Covid-19 sehingga harus segera lockdown, sampai kepada sikap ultra-optimistis bahwa kita dapat menghadapi masalah ini secara bersama-sama, semuanya bersatu bergerak menghadapai badai.

Sikap ultra-optimistis yang lahir dari riuhnya media konvensional dan media sosial tentang Covid-19 dapat dilihat dari respons besar masyarakat Indonesia menghadapi bencana ini dengan cara gotong royong. Secara bersama-sama menerapkan kebijakan di dalam diri dan lingkungannya, dari tindakan social distancing, melengkapi diri dengan hand sanitizer di rumah, kantor dan sekitar tempat tinggal sampai menggalang donasi menghadapi Covid-19. Itu dilakukan sejak awal, bahkan sejak sebelum pemerintah gencar memberikan pengarahan kepada masyarakat.

Namun di mana ada kebajikan di situ sering muncul manusia jahat yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Salah satu cara adalah memanfaatkan kebaikan orang lain. Contohnya, mengambil keuntungan dengan mengatasnamakan para korban bencana atau pejuang dan sukarelawan yang berusaha melakukan mitigasi terhadap bencana, khususnya masalah kesehatan Covid -19. Bentuknya, antara lain, memperjualbelikan hasil donasi bencana kesehatan Covid-19, baik benda maupun uang, untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Potensi kejahatan yang sering terjadi dalam keadaaan bencana ini tidak hanya mengancam para korban yang menderita sakit akibat penyakit saja. Namun mereka yang sehat pun turut terancam nyawanya, menjadi korban bencana, dalam kasus sekarang adalah Covid-19.

Perlu diketahui, terutama kepada mereka yang melakukan kejahatan dalam situasi bencana, dapat dijerat dengan Pasal 78 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bunyinya, Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Sejak 2008 pemerintah telah menerbitkan peraturan pemerintah guna menunjang Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana ini. Khususnya dalam upaya pengelolaan dana bantuan yang diatur dalam Peraturan pemerintah No 22 tahun 2008.

Ditegaskan pada ayat (2) pasal 25 peraturan pemerintah tersebut tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana bahwa terdapat Organisasi pelaksana pemberi bantuan santunan duka cita, dari instansi/lembaga yang berwenang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Bandan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sesuai dengan kewenangannya.

Maka jika tindakan pengumpulan dana dan penyaluran bantuan bencana kesehatan Covid-19 tidak mengikuti tata aturan yang berlaku, secara hukum, merupakan tindakan penipuan dan penggelapan yang diatur dalam pasal 372 jo pasal 378 KUH Pidana. Termasuk jika bantuan disalurkan pejabat berwenang tanpa memenuhi prosedur yang tepat dapat dijerat pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bagaimana seharusnya peran BNPB dalam situasi bencana seperti Covid-19 ini? Kesan yang ada BNPB hanya sebagai pengeras suara, membaca data korban untuk disampaikan kepada publik. Padahal seharusnya BNPB dan BPBD menjadi garda terdepan menyaluran bantuan dan pendataan kebutuhan mitigasi bencana kesehatan ini bersama-sama dengan kementerian terkait.

BNPB dan BPBD harus bertindak sebagai pejuang terdepan bersama tim medis melakukan upaya mitigasi, tidak hanya memikirkan korban Covid-19 namun juga turut mendata kebutuhan bencana. Lembaga ini harus menjadi dirijen atau pengatur lalu lintas bantuan bencana kesehatan covid-19 sehingga korban akibat donasi fiktif tidak semakin berjatuhan. Korban akibat penerapan hukum pidana tidak lahir akibat kesalahan pengelolaan dana bantuan bencana.

Dalam keadaan bencana kesehatan Covid-19 ada tiga potensi korban besar. Pertama, korban yang terganggu kesehatannya. Kedua, korban yang sehat atau mereka penyalur bantuan terhadap korban bencana kesehatan Covid-19 namun sumbangannnya disalahgunakan oleh pengumpul bencana. Ketiga, potensi korban yang dapat dipidana karena salah menerapkan prosedur dalam penyaluran bantuan bencana sesuai Peraturan pemerintah No 22 tahun 2008.

Para pengumpul donasi dan donator pun harus lebih mulai mawas diri melakukan mitigasi pribadi karena dapat menjadi korban bencana hukum dalam bencana. Namun tanpa peran pemerintah penyaluran bantuan akan tersendat. Bagaikan buah simalakama, tanpa peran aktif BNPB dan BPBD dalam urusan bantuan, mereka yang “membantu” dapat menjadi korban tetapi jika tidak membantu korban bencana dapat bertambah terus.

Sumber: inews.id
Oleh: Ayyub Kadriah SH MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Share your love