Bangun tidur buka gadget. Lihat facebook baca-baca artikel kemudian klik bagikan. Buka instagram cari tahu kabar teman, gebetan bahkan mantan. Kalau punya twitter,path; juga ikut dibuka satu satu. Begitulah aktifitas 1 jam pertamanya setiap hari. Dilakukan oleh anak muda yang katanya generasi milenal.

Gadget juga dipakai di kampus. Bahan presentasi tinggal ketik kata kunci, klik cari. Materi diunduh langsung cetak, gandakan. Dengan penuh percaya diri langsung presentasi di depan rekan-rekan sekelasnya. Tidak tahu isi materi, karena ia juga baru membacanya di depan kelas. Rekan-rekan sekelasnya bingung karena tidak tahu apa yang sedang dipresentasikannya. Rekan sekelas pun bertanya karena bingung. Dijawab lah pertanyaan tersebut dengan penuh kebingungan. Akhirnya bingung kuadrat.

Masalah di atas mungin sering kita temukan di kelas. Terutama pada peserta didik dan tenaga pendidik yang malas membaca. Jika dibiarkan, ini akan menjadi masalah besar bagi masa depan pendidikan di Indonesia. Smartphone memang memudahkan kita untuk mencari sumber referensi dalam bentuk e-book, e-journal, dsb. Kemudahan itu harusnya dapat kita manfaatkan untuk mencari tahu sebanyak mungkin informasi sesuai keilmuan kita.

Munculnya telepon pintar seharusnya menambah minat baca pendidik dan peserta didik. Kalau dulu membaca harus ke perpustakaan, atau menumpang membaca gratis di toko buku, kini tidak perlu jauh-jauh ke sana. Tinggal buka telepon pintar Anda, ketik kata kunci bahan bacaan yang kita inginkan kemudian klik. Maka apa yang kita cari akan muncul. Kita bisa membacanya di mana saja dan kapan saja. Namun, tampaknya malah hal berbeda yang terjadi saat ini.

Orang lebih memilih membaca medsos. Minimnya minat baca masyarakat terhadap buku dan artikel ilmiah membautnya mudah tertipu oleh artikel hoax. Mahasiswa dan dosen terlibat dalam penyebaran hoax. Padahal tugas seorang mahasiswa dan dosen adalah bangsa.

Jaman dulu ada istilah mahasiswa kupu-kupu. Sebutan tersebut ditujukan
untuk mahasiswa yang hanya kuliah pulang-kuliah pulang. Disingkat kupu-kupu.

Ilmu yang didapatnya pun tidak ada karena hanya kuliah-pulang. Kini, lebih parah lagi. Mahasiswa kupu-kupu hanya bermodal smartphone ke kampus. Padahal porsi belajar seorang mahasiswa adalah 20% dari dosen dan 80% cari sendiri.

Bisa melalui riset, studi pustaka, dsb. Namun yang terjadi, 20% dari dosen dan sisanya dari gadget. Itu pun tidak ia pahami. Karena yang pintar itu gadget-nya bukan pemiliknya. Maka wajar jika gelar yang diperoleh nantinya adalah sarjana smartphone.

Akan sangat memperihantinkan nasib bangsa ini jika usia muda saat ini adalah sarjana-sarjana smartphone. JIka saat ini anak SMA dan mahasiswa merupakan generasi malas baca yang memiliki ketergantungan kepada gadget, tentunya 5 sampai 10 tahun lagi akan ada guru yang merupakan sarjana smartphone. Ini merupakan masalah besar yang akan kita hadapi ke depan.

Padahal kita akan memasuki revolusi industri 4.0 di mana perkembangan dunia akan berubah drastis. Perubahan tersebut menuntut keterampilan dan inovasi setiap orang. Tidak mau berpikir maka akan ditinggal. Akan banyak pekerjaan yang saat ini populer tetapi 5 tahun kemudian tidak akan ada lagi.

Namun, akan muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang mungkin saat ini tidak terlintas di benak kita. Bagaimana kita akan menghadapi revolusi terebut? Yang ada malah kalah bersaing dengan negara lain.

Berubah sekarang mungkin sudah sangat terlambat, tetapi itu jauh lebih baik daripada kita terus berdiam diri membiarkan peserta didik kita menjadi sarjana-sarjana smartphone. Kita bisa mewajibkan mereka untuk membaca ebook yang banyak kita jumpai di internet atau memanfaatkan gadgetnya untuk hal-hal yang bersifat produktif. Sehingga, minimal kita dapat mengejar ketertinggalan generasi muda kita di masa depan.

Saat ini, setiap lembaga pendidikan dan asosiasi profesi berlomba-lomba untuk membuka lembaga sertifikasi profesi. Itu dimaksudkan agar dapat menciptakan generasi unggul dan membantu pemerintah dalam memberikan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia industri. Banyaknya angka pengangguran di Indonesia bukan karena lembaga pendidikannya namun karena kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh calon tenaga kerja. Bagaimana menjadi terampil jika tidak pernah mau belajar?

Saat ini bukan waktunya lagi menyalahkan si A atau si B. atau menuntut si A dan si B untuk bertanggung jawab. Tetapi kita lah yang harus mengubah pemikiran dan perilaku peserta didik agar kelak tidak menjadi sarjana smartphone yaitu dengan mewajibkan mereka membaca dan aktif belajar.(*)

Sumber: Koran Tangerang Raya tanggal 2 Oktober 2018.
Oleh: Oleh : Misbah Priagung Nursalim, M.Pd.