BincangSyariah.Com – Dalam Alquran, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk selalu melakukan amal kebaikan. Amal kebaikan ini bermacam-macam jika dilihat dari segi nama dan fungsinya. Alquran memiliki beberapa nama yang merujuk kepada kebaikan ini, di antaranya ialah al-hasanat, al-ma’ruf, al-khairat dan al-birr.

Beberapa nama ini sebenarnya lahir dari konsep paling inti, yakni konsep yang terangkum dalam kata as-salihatAs-salihat sendiri berasal dari kata salaha-yasluhu-maslahah-solihAs-salihat berarti ‘yang sesuai’, ‘yang baik’ dan ‘yang bermaslahat’.

Beramal salih berarti melakukan amalan ‘yang sesuai’ dengan posisi dan fungsi seseorang sebagai hamba Allah, ‘yang baik’ sesuai dengan ketentuan agama serta pertimbangan ruang dan waktu, dan ‘yang maslahat’  bagi diri dan lingkungan sekitar.

Selain itu, As-salihat dalam Alquran dinarasikan dalam bentuk jamak. Penggunaan salih dalam bentuk jamak ini mengandaikan bahwa suatu amalan dianggap salih jika dilakukan berulang dan tidak sekali jadi.

Kesalihan yang dilakukan hanya sekali tidak dapat dikategorikan sebagai amal salih. Kesalihan hanya bisa disebut saleh jika dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus sehingga menjadi kebiasaan.

Karena itu, amal disebut saleh jika ia salih/sesuai dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut; pertama, amal dianggap salih jika sesuai dengan ketentuan agama. Alquran selalu menyerukan untuk berbuat kebaikan atau al-khairat.

Menurut Quraish Shihab al-khairat merupakan kebaikan yang bersifat universal yang mengatasi ruang dan waktu. Menutup aurat, bersedekah, menghormati tamu, tidak sombong dan lain-lain merupakan kebaikan universal yang berlaku di setiap ruang dan waktu. Karena itu, Alquran menyerukan agar selalu berbuat kebaikan dengan pengertian yang universal ini.

Kedua, amal dianggap salih jika sesuai dengan ruang dan waktunya. Sebenarnya konsep kebaikan bersifat universal. Tetapi pengejawantahan dari kebaikan ini berbeda dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat.

Terkadang suatu amal yang dianggap baik atau salih di masa ini belum tentu  baik di masa mendatang dan demikian juga amal yang dianggap baik saat ini belum tentu baik di masa lampau.

Selain itu, amalan dianggap baik di satu daerah belum tentu baik di daerah lain. Kebaikan itu terikat ruang dan waktu. Dalam bahasa Alquran, kebaikan yang bersifat lokal dan temporal ini disebut al-ma’ruf.

Sebagai contoh, Alquran melarang berlaku sombong dalam berbagai bentuknya. Salah satu bentuk kesombongan di masa Nabi, terutama dalam kebudayaan Arab di masa beliau ialah memakai pakaian yang melebihi mata kaki. Memakai pakaian dengan cara demikian di masa Nabi merupakan simbol kesombongan.

Karena itu, orang yang berpakaian dengan cara demikian (musbil) diancam Nabi masuk neraka. Di masa Nabi, berpakaian melebihi mata kaki dikategorikan sebagai salah satu bentuk kesombongan. Oleh karena itu, Nabi melarang. Namun dengan ruang dan waktu yang berbeda, berpakaian dengan melebihi mata kaki di masa sekarang bukan lagi bentuk kesombongan.

Pada masa sekarang, berpakaian melebihi atas kaki alias cingkrang itu tidak lazim dan bahkan dalam segi-segi tertentu mengurangi keindahan berpakaian. Karena itu, semangat kesombongan yang ada di balik cara berpakaian melebihi mata kaki sudah mulai bergeser.

Dulu di masa Nabi berpakaian cingkrang merupakan suatu kewajaran sosial namun di masa sekarang sudah tidak relevan lagi , terutama karena pertimbangan ruang dan waktu, cara berpakaian seperti itu berlawanan dengan estetika.

Seperti halnya membuat patung atau melukis di masa nabi yang saat itu dilarang keras,  saat ini,  ketika semangat membikin patung dan melukis tidak lagi karena untuk disembah melainkan untuk seni dan pengetahuan, hal demikian, menurut Buya Hamka, diperbolehkan. Contoh lain dalam hal ini ialah lambang negara kita, burung garuda.

Para ulama sejak berdirinya negara ini tidak pernah mempersoalkan burung garuda sebagai lambang negara. Lebih jauh lagi, mereka bahkan tidak memandangnya sebagai bentuk kemusyrikan. Kenapa? Karena semangat menuhankan dari dibuatnya burung garuda ini sudah hilang dan nilai-nilai mistisnya sudah ditiadakan sehingga burung garuda hanya menjadi ornamen biasa, bukan lagi sesuatu yang sakral dan karenanya diperbolehkan.

Ketiga, amalan dianggap saleh jika sesuai dengan fungsi dan tugas yang mengamalkannya. Artinya, seseorang dianggap sebagai salih tergantung pada posisi dan fungsinya di dunia. Jika seorang hamba berposisi sebagai seorang suami, amalan kebaikan yang harus dilakukan yang dengannya ia dikategorikan salih ialah menafkahi keluarga dengan baik.

Pasalnya, posisi sebagai suami mengharuskan dan menuntutnya untuk menafkahi keluarga atau memiliki fungsi sebagai pemberi nafkah. Jika tidak melakukan demikian, sang suami belum terkategorikan sebagai salih di mata Allah meski ia beribadah dan berzikir sebanyak mungkin. Kenapa demikian? Karena ia belum sesuai/salih dengan tugasnya sebagai suami.

Seorang presiden dianggap salih jika telah melaksanakan tugas yang sesuai dengan fungsinya sebagai seorang pemimpin negara, yakni dengan berbuat adil dan menyejahterakan rakyatnya. Jika hal demikian tidak dilakukan, ia belum berhak dikategorikan sebagai hamba Allah yang salih karena belum melakukan amalan yang ‘sesuai’ dengan  fungsi dan tugasnya sebagai presiden.

Dengan demikian, kesalehan tidak melulu diekspresikan dengan salat, berzikir dan berpuasa sunnah sebanyak mungkin. Ini  dinamakan kesalehan dalam hubungannya dengan diri sendiri dan Tuhan. Kesalehan dalam Islam tidak melulu sampai di situ pengertiannya.

Namun lebih jauh lagi, kesalehan berkaitan dengan sejauh mana seseorang berlaku dan bertindak sesuai dengan fungsi dan tugas yang diembannya dalam dunia sosialnya. Dengan demikian, kesalehan juga ditentukan oleh sejauh mana seseorang mengisi posisi dan tugasnya dan sejauh mana juga ia mampu menentukan prioritas amalan yang akan dilakukannya.

Keempat, amal disebut salih jika bermanfaat dan memberikan kemaslahatan bagi sekeliling. Kemaslahatan merupakan dasar moral bagi Islam. Dalam bahasa Arab, as-salihat dan maslahat meski bentuknya berbeda memiliki makna yang sama.

As-salihat berpola fa’il (partisipel aktif) dan maslahat berpola maf’alah (nomina). Keduanya mengandung fitur makna ‘kesesuaian’, ‘kebaikan’,  dan ‘kemaslahatan’. Orang salih ialah orang yang tingkah lakunya memberikan kemaslahatan bagi sekelilingnya dan bukan kerusakan-kerusakan.

Jadi orang Islam yang ingin mati syahid dengan mengebom warga sipil karena menurut keyakinanya mereka itu kafir tidak bisa dikategorikan sebagai saleh. Kenapa? Karena tindakannya tidak mencerminkan kemaslahatan, melainkan kemafsadatan di muka bumi. Tidak pas kategorinya jika orang beriman yang seharusnya amilu assalihat/masalih ‘melakukan kesalehan/kemaslahatan’ malah amilu al-fasidat/mafasid ‘berbuat kerusakan’. Hal demikian itu tidak menunjukkan kesingkronan antara keyakinan dan praksis amalannya.

Seseorang juga tidak bisa dikategorikan salih jika ia masih memperdebatkan persoalan-persoalan sepele dalam agama. Misalnya antara tahlil dan non-tahlil, maulidan dan non-maulidan, orang tua nabi itu masuk neraka apa tidak, celana cingkrang atau tidak cingkrang, berjenggot atau tidak berjenggot, mendirikan khilafah atau tidak, dan seterusnya, termasuk persoalan gampang membid’ahkan orang yang tidak sepaham dengannya.

Semua itu merupakan persoalan yang tidak penting dan tidak maslahat. Seribu lima ratus tahun lebih Islam hidup dan selama itu pula umat Islam masih mempersoalkan persoalan-persoalan yang sama,  yang itu-itu saja. Ribuan dalil baik dari yang pro maupun yang kontra tetap itu-itu saja. Tidak ada perubahan. Yang berubah hanya orangnya dari masa ke masa. Persoalan masih tetap sama, cara penanganannya masih tetap sama dan cara berpikirnya masih tetap sama. Tidak maslahat dan tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi Islam. Jadi jangan berebut surga jika amalan masih neraka.

Jelas perbuatan ini termasuk mafasid. Kenapa? Karena jika persoalan-persoalan tersebut diperuncing, akan terjadi perpecahan di tubuh umat Islam, bahkan akan selalu timbul saling tuduh menuduh mana kelompok yang sesuai Sunnah Nabi dan mana yang tidak, mana yang sesuai salaf salih dan mana yang tidak.

Nabi dan generasi salaf salih diperebutkan hanya untuk memuaskan hasrat kebenaran kelompoknya dan karenanya, perbuatan ini tidak maslahat dan pelakunya disebut tidak salih. Sebanyak apapun ia shalat sunnah, sebanyak apapun dia berzikir, setinggi apapun posisinya sebagai ustadz atau mufti atau habib, kalau dia masih menganggap bahwa kelompok yang dianutnya merupakan kebenaran mutlak sementara yang lain tidak, kalau dia selalu su’uzhan dengan paham furu’iyy yang dianut saudaranya yang sesama muslim, maka kategorinya ia bukan orang salih. Lebih tepatnya, ia pembuat keonaran karena tingkah lakunya bukan dalam kategori kemaslahatan.

Simpulnya, orang  beriman harus mengejawantahkan keimanannya dengan melakukan amal-amal yang memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun lingkungan sekitarnya. Kemaslahatan ini bisa berupa kemaslahatan dunia, kemaslahatan akhirat atau kemaslahatan dunia dan akhirat sekaligus.

Jadi jika amal tersebut tidak mengejawantahkan kebaikan, maka ia tidak salih/sesuai dengan komitmen keimanannya dan karena itu keimanannya belum teruji atau paling tidak belum terwujud dalam bentuk amal yang sesuai.

Sumber: bincangsyariah.com
Oleh: Abdul Aziz (Alumni S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pernah nyantri di Darus Sunnah International Institute)