lppm@unpam.ac.id
(+62) 857-1903-5676
Jl. Witana Harja No. 18b, Pamulang
Indonesia mulai menghadapi pandemi Virus Corona pada awal maret 2020. Dengan masuknya virus corona di Indonesia ini, tentunya akan memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Virus corona tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga berimbas bagi perekonomian di Indonesia.
Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina, pada bulan Desember 2019 dan masih berlangsung sampai saat ini. Bahkan pada bulan Maret, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melaporkan bahwa Virus Corona merupakan pandemi global. Akan tetapi dalam beberapa hal banyaknya perdebatan kenapa WHO baru menyatakan Covid 19 sebagai virus global sedangkan ini sudah terjadi pada bulan Desember. Dari sini terlihat ada indikasi penyembunyikan fakta atau false information antara WHO dan China terhadap virus tersebut kepada publik.
Berikut beberapa indikasi WHO “kongkalikong” dengan China terkait virus tersebut.
Pertama, WHO sepertinya menyebarkan narasi palsu bahwa virus itu tidak menular dari orang ke orang. Sebelumnya, China hanya melaporkan wabah corona kepada WHO pada 31 Desember dan mengatakan tidak ada bukti penularan dari manusia ke manusia. Setali tiga uang dengan China, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia ( WHO), pada konferensi pers di Jenewa menyatakan bahwa virus corona menyebar hanya dari binatang ke manusia, tidak bisa dari manusia ke manusia. Tidak ada bukti bahwa penularan dari manusia ke manusia (The New York Times, 2020). Selain itu, dalam twitternya WHO pada 14 Januari 2020 menyatakan tidak ada bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia (Fox News, 2020). Padahal sebelumnya, petugas medis, Li Wenliang, yang bekerja di Rumah Sakit Pusat kota Wuhan, pada akhir Desember telah memberikan informasi dan peringatan agar berhati-hati menangani pasien yang terkena virus corona karena menurutnya virus tersebut mirip Sars – virus yang mematikan lainnya. Akan tetapi polisi menyuruhnya untuk berhenti “membuat komentar palsu” (BBC News, 2020).
Pemerintah Cina dinilai berbohong kepada dunia tentang bahaya dan sifat menular Covid 19, serta membungkam pelapor (The New York Times, 2020). The Henry Jackson Society, sebuah lembaga Think Tank Inggris, berpendapat bahwa China telah melakukan menyembunyikan data dan menghukum dokter yang berusaha mengatakan yang sebenarnya (Sydney Morning Herald, 2020). Selain itu, adanya tiga aktivis internet yang berbasis di Beijing telah menghilang pada 19 April 2020 dan diyakini ditahan oleh pihak polisi karena mengarsipkan berita-berita mengenai virus corona yang disensor secara daring (VOA Indonesia, 2020). Pemerintah China juga menghukum para pelapor yang berusaha memperingatkan tentang bahaya virus itu pada tahap awal persebarannya.
Melihat kondisi di atas, pemerintah China dan para ilmuwannya harusnya sudah tahu sejak lama bahwa virus corona sangat menular, tetapi ketika para peneliti Barat bertanya apa yang sedang terjadi di Wuhan, mereka tidak meresponsnya (ABC News, 2020). Selain itu, bukti lainnya adalah investigasi yang dilakukan Associated Press menunjukkan bahwa kepala Komisi Kesehatan Nasional China, Ma Xiaowei, menggambarkan situasi “parah dan kompleks”, yang ia bandingkan dengan wabah SARS 2003, selama teleconference rahasia dengan pejabat kesehatan provinsi pada 14 Januari 2020. Namun, baru pada 20 Januari, Presiden Xi Jinping memperingatkan masyarakat tentang adanya kemungkinan epidemi dari virus tersebut (ABC News, 2020).
Kedua, ada indikasi WHO dan China berusaha menutupinya saat pertama kali muncul di kota Wuhan pada Desember lalu dan memberikan informasi yang tidak valid terkait virus tersebut kepada publik. Fakta lainnya, pemerintah Cina telah berulang kali menolak memberikan informasi pada awal krisis pandemi tersebut dengan mengatakan segera melaporkan wabah ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun WHO tidak diizinkan mengirim timnya ke Wuhan, pusat penyebaran wabah koronavirus, sampai 20 Februari – beberapa bulan setelah kasus pertama ditemukan di sana. Itu pun hanya bagian dari tim WHO yang diizinkan melakukan kunjungan singkat selama dua hari, di mana tidak ada waktu untuk melakukan apa pun selain rapat untuk mengenali persebaran virus mendalam. Menurut Gordon G. Chang, Beijing jelas memiliki sesuatu yang disembunyikan di Wuhan, tetapi tidak ada seorang pun perwakilan WHO yang tampaknya memiliki keinginan untuk mencari tahu (Fox News, 2020).
Para ahli mengatakan bahwa adanya kontrol ketat pemerintah China terkait informasi, adanya birokrasi yang terbelit-belit dan keengganan untuk mengirim berita buruk kepada WHO secara dini untuk meredam peringatan awal. WHO seharusnya tahu bahwa pemerintah Tiongkok tidak mengatakan yang sebenarnya. Ini dilandasi pada tanggal 31 Desember 2019, Taiwan mengatakan bahwa mereka mencurigai patogen itu menular dari manusia ke manusia dan para profesional WHO juga sudah mengetahui hal itu. Menurut keterangan Maria Van Kerkhove, seorang dokter WHO, mengatakan pada sebuah konferensi pers pada hari Senin bahwa “sejak awal” dia mengira coronavirus dapat ditularkan dari manusia ke manusia, tetapi para petinggi WHO mengabaikan bukti-bukti ini (Fox News, 2020).
Ketiga, adanya kedekatan yang intens antara petinggi WHO dengan Tiongkok. Bahkan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan kritik tajam terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan menyebut “Cina-sentris” (BBC News, 2020). Terutama para petinggi WHO seperti Tedros Adhanom Ghebreyesus (Direktur Jenderal WHO) menyampaikan pujian kepada China sebagai negara yang ‘komitmen terhadap transparansi’ dan berhasil mengatasai kecepatan deteksi virus tersebut. Perlu diketahui bahwa hubungan Tedros Adhanom (orang Ethiopia) dan Tiongkok telah terjalin cukup lama, ini terjadi setelah kemenangan pemilihannya sebagai kepala WHO pada 2017, bahwa para diplomat China telah banyak terlibat melobi untuknya. Catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga menunjukkan bahwa kontribusi China untuk anggaran bantuan Ethiopia dan WHO telah meningkat secara drastis pada saat Tedros berada di posisi kepemimpinan puncak (Kompas, 2020). Bahkan The Times (2020) melaporkan bahwa para diplomat China telah berkampanye secara masif untuk orang Ethiopia itu (Tedros) serta menggunakan pengaruh keuangan Beijing untuk membangun dukungan kepada Tedros di kalangan negara-negara berkembang yang sebelumnya memberikan sedikit dan bahkan tidak sama sekali. Pada 2011, tepat setelah Tedros Adhanom mengambil peran sebagai pimpinan WHO pada 2017, China menyuntikkan dana sebesar 44 juta dollar AS (Rp 697 milliar) sebagai komitmen dan kontribusi untuk Ethiopia. Catatan pendanaan PBB lebih lanjut menunjukkan bahwa selama masa jabatannya, kontribusi China untuk WHO telah meningkat secara signifikan. Dari sekitar 23 juta dollar AS (Rp 366 milliar) pada 2016 menjadi 38 juta dollar AS (Rp 605 milliar) pada 2019. China juga telah berkomitmen untuk pendanaan lebih lanjut sebanyak 57 juta dollar AS (Rp 907 milliar) pada 2020. Sementara itu, pendanaan dari negara-negara besar lainnya termasuk AS, Rusia, Jepang, dan Jerman, sebagian besar tetap datar atau bahkan jatuh pada periode yang sama (Kompas, 2020). Tedros sendiri mengunjungi Beijing pada Januari 2020 dan berbicara dengan Presiden Xi Jinping tentang tanggapan negara tersebut terkait virus corona. Dia kembali dari China dan memberikan pidato yang memuji transparansi pemerintahan itu. Selain itu, dia juga memuji kecepatan tanggapan pihak China atas wabah virus corona dan memuji semua itu dengan menyelamatkan banyak nyawa baik di dalam maupun luar negeri. Dan hal ini lah yang membuat Trump geram hingga menghentikan sementara kucuran dana Amerika Serikat untuk WHO. Atas kritikan Donald Trump, Dirjen WHO, Tedros Adhanom membalas dengan “Bagi saya pribadi, saya tidak keberatan. Saya lebih suka memilih untuk fokus pada penanganan pandemi covid-19” (World Economic Forum, 2020).
Kedekatan lainnya adalah WHO sepaham dengan China yaitu tidak mengakui Taiwan sebagai bagian dari sebuah negara dan tidak memiliki afiliasi terhadap WHO. Bahkan Gordon G. Chang, pakar kajian Asia, menyebutkan bahwa WHO tunduk pada pemerintah China dan tidak akan bekerjasama dengan Taiwan (Fox News, 2020). Ini terlihat dari wawancara Dr. Bruce Aylward pada 28 Maret dengan RTHK Hong Kong. Asisten Direktur Jenderal WHO menolak untuk berbicara tentang peluang Taiwan sebagai bagian anggota dari WHO. Perlu diketahui hubungan antara WHO dan Taiwan memang telah memburuk sejak pandemi ini dimulai. Padahal banyak para pakar kesehatan memuji Taiwan atas kesigapannya dalam menghadapi virus Corona. Taiwan hanya memiliki 379 pasien COVID-19 dan lima kematian. Sebelumnya, Taiwan dulu mendapatkan status sebagai pengamat pada pertemuan tahunan WHO. Namun tekanan diplomatik dari Beijing dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong Taiwan keluar dari WHO.
Keempat, WHO secara terbuka mendukung keakuratan statistik Beijing terhadap perhitungan jumlah kasus koronavirus dan kematian di Tiongkok. Padahal, menurut intelijen Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa pemerintah China menyembunyikan data sesungguhnya tentang jumlah infeksi dan korban meninggal akibat Covid-19. Saat ini Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus corona terbanyak di dunia, bahkan mengalahkan China. Sementara di China hanya ada 81.554 kasus dengan 3.312 orang meninggal dan 76.236 sembuh (Worldometers, 2020). Atas kritikan ini, pihak China pun merevisi jumlah kematian corona, menambahkan 1.290 kematian dari kota Wuhan. Penambahan itu meningkatkan angka kematian nasional hampir 50 persen menjadi 4.632.
Selain itu, harian The Epoch Times mengabarkan ada dua puluh satu juta pengguna ponsel di China tiba-tiba hilang atau tidak aktif dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu memicu dugaan bahwa korban meninggal karena pandemi corona di China jauh lebih tinggi dari angka yang diungkapkan pemerintah selama ini. Pengamat China di Amerika Serikat, Tang Jingyuan kepada The Epoch Times 21 Maret lalu mengatakan rezim china mewajibkan semua warga memakai ponsel mereka untuk mendapatkan kode kesehatan. Hanya mereka yang memiliki kode kesehatan hijau dibolehkan bepergian di dalam negeri saat itu. Mustahil bagi seseorang untuk menghapus akun ponselnya (Al Arabiya, 2020).
Dari beberapa poin di atas penulis menduga adanya “kongkalikong” antara pihak WHO dan China terkait perkembangan dan penyebaran virus corona ini. Adolf Hitler pernah berkata “Tidak masalah seberapa banyak kebohongan yang kamu buat, tetapi yang penting adalah bagaimana kamu membuat kebohongan itu menjadi kenyataan.”
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang
Penulis : Yasir Mubarok, M.Hum. Dosen Fakuktas Sastra, Universitas Pamulang