Menelisik Supply Chain Bisnis Vitamin Di Masa Pandemik Covid-19

Dalam masa pandemik covid-19, salah satu kebutuhan masyarakat yang paling menonjol dan mendesak adalah vitamin, khususnya  vitamin C baik tunggal maupun kombinasi dalam berbagai bentuk sediaan. Begitu frenzy (hiruk pikuk) isu tentang perlunya daya tahan tubuh dalam menangkal dan mengatasi infeksi virus covid-19 ini, menjadikan kebutuhan vitamin jenis ini menjadi sangat tinggi jauh melebihi ketersediaannya di pasar.

Di berbagai outlet baik pasar offline maupun online masyarakat memburu vitamin untuk meningkatkan imunitas tubuh. Di outlet pasar offline seperti apotik, toko obat dan chain store (toko jaringan), masyarakat sering menjumpai stok kosong, jikapun ada terbatas jumlahnya dengan harga melangit. Di pasar online baik di marketplace maupun e-commerce, vitamin seperti layaknya komoditi yang ketersediannya tidak menentu dengan harga yang berlipat dari sebelumnya.

Perilaku konsumsi masyarakat dalam mencari, memilih, dan mengkonsumsi vitamin khususnya vitamin C berubah secara intens dalam waktu relatif singkat, sementara perilaku produksi dari produsen relatif lebih lambat, menyebabkan ketidaksiapan ketersedian produk (product availability) di pasar dalam memenuhi permintaan pasar. Ketersediaan produk yang rendah di pasar juga diperparah akibat sepekulasi dari mafia trader sehingga kelangkaan (scarcilty) menjadi nyata adanya khususnya terjadi di tingkat apotik, toko obat serta toko jaringan maupun di marketplace, dan ini diduga menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan harga produk ini di tingkat konsumen menjadi berlipat.

Dari aspek ketersediaan stok produk di produsen (perusahaan farmasi), berdasarkan pengalaman bahwa tingkat stok (stock level) produk jadi jenis vitamin ini umumnya sekitar 1-2 bulan kebutuhan rata-rata konsumen. Sedangkan tingkat stok bahan baku obat, apalagi dari impor, umumnya bisa mencapai 3 bulan. Bila valensi kebutuhan vitamin C ini meningkat semisal menjadi 2x lipatnya, maka diperkirakan produsen  masih memiliki kemampuan untuk memproduksi untuk kebutuhan 1-2 bulan (Maret-April). Tetapi di pasar dalam periode tersebut para ritel banyak mengalami kekosongan (out of stock) dan sulit mendapatkan produk jadi vitamin C, bahkan dengan harga yang melangit pun produk tersebut sulit didapatkan dari produsen melalui saluran distribusinya. 

Dilihat dari aspek harga bahan baku obat, dimana Indonesia tercatat 90 % masih mengimpor,  85% dari porsi tersebut berasal dari China dan India, dan selebihnya 15% dari Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut saat ini juga terdampak pandemik global, sehingga ketergantungan bahan baku obat impor menjadi semakin berat. Dari data Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi, harga bahan baku obat mengalami kenaikan sampai dengan 30%. Bila dilihat dari pengalaman bahwa biaya atau Cost of Goods Sold (COGS) produk-produk farmasi berkisar 50-60%, artinya kenaikan harga di tingkat konsumen produk vitamin C yang terjadi saat pandemik,  bahkan mencapai kenaikan100%, ini bukan semata-mata karena kenaikan harga bahan baku, tetapi diduga ada faktor lain yang signifikan seperti spekulan yang ada pada setiap tingkatan distribusi.

Tingkatan distribusi secara konseptual merupakan bagian dari marketing channel. Dalam saluran distribusi baik produsen, distributor, pedagang besar dan retailer dalam dunia bisnis (perdagangan), merupakan organisasi bisnis yang saling tergantung dalam proses pemenuhan kebutuhan konsumen. Beberapa saluran distribusi produk pada pasar konsumen mempunyai panjang yang berbeda-beda. Secara teoritik ada beberapa tingkat saluran distribusi tergantung dari jumlah tingkat perantara dari mulai produsen sampai ke konsumen akhirnya. Ketergantungan antar anggota dalam saluran distribusi berpengaruh terhadap ketersediaan produk-produk farmasi. Semakin panjang saluran tentu semakin berbiaya tinggi dan semakin berisiko pada kelangkaan dan harga akhir produk tersebut di tingkat konsumen.

Perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen  perlu memikirkan secara mendalam arsitektur saluran distribusinya. Secara konseptual perusahaan farmasi memiliki beberapa alternative diantaranya saluran tunggal (single-channel distribution) atau multi saluran (multi-channel distribution). Perusahaan farmasi dengan saluran tunggal secara teoritis relatif lebih mudah dalam pengendalian distribusi produknya. Perusahaan farmasi juga sering menggunakan saluran yang berbeda untuk melakukan penjualan kepada pelanggan-pelanggan dengan ukuran yang berbeda. Pilihan –pilihan tersebut dapat berdampak pada ketersediaan produk dan harga di tingkat ritel (retail-based price) serta harga di tingkat konsumen (consumer-based price).

Saling ketergantungan antara produsen, distributor, pedagang besar dan retailer sebagai sesama anggota saluran distribusi seringkali tidak diimbangi dengan sistem informasi yang simetris. Asimetri informasi dalam distribusi produk-produk farmasi khususnya informasi stok dan harga produk dalam berbagai tingkatan distribusi sering terjadi. Apalagi dalam masa darurat, hendaknya produk-produk farmasi seperti vitamin C ini tidak dijadikan seperti barang komoditi yang ketersediaannya sensitif terhadap harga. Masalah asimetri informasi dan terjadinya mikro distribusi inilah yang agaknya masih dimanfaatkan oleh para spekulan di bidang perdagangan produk-produk farmasi (vitamin) sehingga perlu segera dibenahi tata kelolanya.

Tata kelola distribusi produk-produk farmasi khususnya yang berkebutuhan tinggi (fast moving) seperti vitamin C dalam masa darurat Covid-19 ini tidak bisa hanya dilakukan seperti tata kelola biasa, tetapi perlu penerapan tata kelola distribusi khusus (darurat) dengan audit lapangan sebagai tools utamanya. Tata kelola distribusi khusus ini dengan kewenangan khusus tentunya bertujuan utamanya melindungi khususnya masyarakat sebagai konsumen akhir untuk mendapatkan produk yang bermutu, mudah didapat dengan harga terjangkau.

Distribusi produk farmasi termasuk vitamin C merupakan salah satu rantai suplai dalam bidang farmasi yang penuh dengan aturan (higly regulated business). Kondisi demikian ini menuntut para pihak terkait  mempunyai komitmen bersama yang kuat demi melindungi kebutuhan konsumen secara berkualitas. Komitmen bersama ini dapat ditunjukkan dengan kesediaan secara terbuka dan sukarela untuk mendukung tugas-tugas pelaksanaan audit dan perlunya distribution compliance terhadap standar distribusi yang telah ditetapkan, apalagi dalam masa darurat seperti ini.

Dalam konteks distribusi khusus atau audit distribusi dalam masa darurat seperti masa pandemik covid-19 ini, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM),  sebagai institusi pemerintah dalam pengawasan obat perlu meningkatkan ‘pengawasannya’ dengan menggandeng dan melibatkan banyak tenaga ahli dalam berbagai profesi terkait seperti para apoteker melalui Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta ahli manajemen di bidang produksi dan distribusi. Para ahli ini perlu dilibatkan untuk memastikan tata kelola khusus distribusi produk farmasi khususnya yang berkebutuhan tinggi dalam kondisi darurat ini benar-benar dijalankan, dan meminimalisir ruang gerak mafia trader yang menyebabkan kelangkaan produk di pasar dan kenaikan fantastis harga produk di tingkat konsumen.

Momentum pandemik covid-19 harus bisa dijadikan learning process dan sekaligus menjadi energi bagi seluruh stake holder dalam bidang bisnis farmasi khususnya pemerintah untuk kita dorong dan fokus dalam kemandirian bahan baku obat yang bermuara pada harga obat yang lebih terjangkau bagi masyarakat. Perbaikan supply chain di bidang farmasi termasuk perbaikan distribution channel serta perlunya penerapan audit distribusi dalam bidang farmasi (vitamin) dalam kondisi darurat perlu dipertimbangkan untuk perbaikan tata kelola rantai suplai dan distribusi  yang lebih efektif dalam pengendalian ketersediaan dan harga produk yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sumber: visione.co.id
Oleh: Drs. Sunanto, Apt., M.M, (Praktisi bisnis & Dosen Manajemen Universitas Pamulang)

Share your love